Senin, 12 November 2012

Chit-chat with Danisa :)

Saya    : Anak pinter itu anak yang ndak suka nangis, ndak cepet marah, yang sabar..
Danisa : *sesenggukan nangis*
Saya    : Anak pinter itu anak yang sho.....
Danisa : ...nice
Saya    : #okesip #anakkukeracunaniklan

****

Saya    : Sa, ayok makan dulu...
Danisa : Ndak mau..
Saya    : Ee.. Ini ada sayur kacang panjang lho..
Danisa  : Ndak mau. Isa pusing.
Saya     : -_______- (emang udah tau rasanya pusing??)

****

Saya    : Sa, yok kita sholat yoook..
Danisa : Yok..yokk.. Kita uduk (wudhu) dulu ya!
Saya    : Kalo sholat, kita bisa minta sama Al...
Danisa :..llooooh..
Saya    : Danisa mau minta apa?
Danisa :..kembang api


Senin, 29 Oktober 2012

#BerkahKambing: Nggak Usah Takut Makan Masakan Kambing :)

Saya akui, Twitter dan blog adalah media sosial yang paling mumpuni. Setidaknya buat saya. Setidaknya untuk sekarang. Saat berada pada kelompok usia seperti saya, (kelompok 25 tahun ke atas. Mau bilang tua? Silakan. I dont care :)) media sosial bukan lagi sebagai tempat curhat nan galau. Media sosial sudah berfungsi sebagai sumber informasi tercepat dan tentu terpercaya.

Judul yang saya tulis diatas adalah salah satu contohnya. Berkaitan dengan Hari Raya Idul Adha, @kupinang akun Twitter milik M.Fauzil Adhim (penulis buku Kupinang Kau Dengan Hamdalah), kultwit tentang #BerkahKambing. Dari kultwit beliau tersebut, banyak hal yang sama sekali baru saya tau.

Agar ilmu yang baru saya tau tersebut dapat didokumentasikan, saya salin ke blog ini. Kenapa saya salin ke blog? Kenapa nggak di-fav aja kultwitnya? Berhubung 27 Oktober kemaren adalah #HariBloggerNasional, yuk mareeeee ikut meramaikan :D

Minggu, 21 Oktober 2012

Curhat Petugas Promkes #2: Speaking the truth is (not) easy

Saya menulis posting kali ini disertai dengan perasaan yang campur aduk. Antara merasa 'bodoh' tapi tidak terima. Antara jengkel tapi entah mau jengkel sama siapa. Bingung? Saya yang nulis aja bingung...

Ceritanya begini. Di media jejaring Facebook, saya membuat akun atas nama program yang saya pegang di Puskesmas. Saya sering mengunggah (upload) foto-foto kegiatan yang dilakukan Puskesmas, terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Kalau update status, saya seringnya menceritakan saya sedang bertugas dimana. Isi update status saya juga sering menyinggung fenomena dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.

Siang tadi, saya membuat status tentang gizi buruk. Status ini merupakan kutipan dari sebuah berita di globalfmlombok.com. Ini dia link beritanya http://tinyurl.com/8jxpgls. Tujuan saya meng-update status tersebut adalah memberi informasi tentang (kenyataan) jumlah kasus gizi buruk di NTB. Tapi, tujuan saya tersebut berujung pada masalah.

Tidak lama setelah saya meng-update status tersebut, saya dihubungi atasan via telepon genggam. Saya kena teguran. Tidak usah saya jabarkan dengan detail bagaimana cara beliau menegur saya. Yaaaa...kalo tetep kepo, cara menegur tersebut bikin pikiran dan perasaan saya campur aduk seperti yang saya tulis diatas. Setelah nanya sana-sini, data yang ditampilkan oleh media tersebut memang betul adanya. Lho terus kenapa saya ditegur? Kecuali kalo data tersebut salah ya lain ceritanya.

Dari teguran itu, saya berpikir.

1. Setiap kali kasus gizi buruk muncul, instansi kesehatan pemerintah adalah instansi yang paling dibuat kebat-kebit. Dibuat resah gelisah tak menentu. Instansi kesehatan langsung menjadi sasaran media massa. Kepala dinas kesehatan, kepala puskesmas, atau direktur rumah sakit segera menjadi sasaran empuk cecaran pertanyaan wartawan. Intinya, di media massa, instansi kesehatan seperti menjadi aktor utama munculnya kasus gizi buruk.

Padahal, jika ditelisik lebih lanjut atau kalo memang media massa-nya pinter, seharusnya yang menjadi sasaran cecaran pertanyaan adalah pejabat penguasa wilayah setempat. Mulai dari kepala lingkungan, kepala desa, lurah, camat. Penderita gizi buruk kan warga mereka. Mereka (seharusnya) yang lebih tau bagaimana kondisi warganya, bagaimana kehidupan warga sehari-hari. Instansi kesehatan (puskesmas, dinas kesehatan, dan rumah sakit) menerima pasien/penderita ketika kondisi mereka sudah masuk status gizi buruk, ketika nasi sudah menjadi bubur.

Pemberitaan yang muncul menciptakan kesan: gizi buruk terjadi karena instansi kesehatan tidak bekerja, tidak memperhatikan kesehatan masyarakat. Benarkah? Nanti saya bahas di poin berikutnya. Inti dari poin ini adalah, tiap ada kasus gizi buruk, media massa menciptakan kesan instansi kesehatan yang harus bertanggung jawab. Ibarat pemuda yang dituntut menikahi seorang gadis yang tengah hamil padahal gadis itu hamil akibat perbuatan laki-laki lain.

2. Benarkah instansi kesehatan tidak bekerja? Mari saya jelaskan. Ini mungkin terkesan saya membela diri tapi inilah kondisi yang sering terjadi di lapangan.

Di dalam benak masyarakat saat muncul kasus gizi buruk, mungkin yang terbayang adalah kemana para petugas kesehatan. Apa yang petugas lakukan sehingga (kok bisa-bisanya) muncul penderita gizi buruk. Ditambah dengan pemberitaan media massa yang terkesan memojokkan instansi kesehatan.

Begini. Instansi kesehatan di tingkat paling dasar yaitu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) punya sistem pemantauan perkembangan bayi dan balita. Bayi dan balita harus dipantau karena kelompok usia tersebut yang rawan terkena gizi buruk. Sistem pemantauan tersebut bekerja dalam pelaksanaan pos pelayanan terpadu (posyandu).

Jadi, posyandu adalah 'milik' Puskesmas? Tidak. Sejatinya, posyandu adalah milik masyarakat. Puskesmas hanya melakukan kegiatan teknis melayani imunisasi, konseling gizi, dan pemeriksaan ibu hamil. Tapi karena orang kesehatan yang rutin datang ke posyandu, tercipta anggapan posyandu adalah milik instansi kesehatan. Jadi kalo ada apa-apa dengan posyandu, puskesmas lah yang dijadikan tempat mengadu.

Setiap bulan, posyandu melakukan kegiatan penimbangan bayi dan balita. Masalah yang sering terjadi, setelah menyelesaikan imunisasi campak pada usia 9 bulan, mayoritas orangtua balita tidak membawa anak-anaknya lagi ke posyandu. Alasannya:
- Ngapain capek-capek ke posyandu kalo cuma ditimbang aja.
- Saya repot bu, soalnya kerja (padahal posyandu cuma sekali sebulan dan itupun cuma butuh waktu 15 menit disana.
- Anaknya suka nangis tiap naik timbangan
- dan beragam alasan lainnya

Untuk masyarakat menengah ke bawah, satu-satunya tempat pelayanan kesehatan untuk bayi, balita, dan ibu hamil yang paling mudah dan murah (bukan murah, gratis malah) adalah posyandu. Sayangnya, pelayanan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

Akibatnya, karena orangtua lalai menimbang balita setiap bulan, petugas gizi dari puskesmas jadi tidak bisa memantau perkembangan setiap balita. Apa petugas puskesmas mau disuruh keliling ke setiap rumah buat menimbang balita? Sekedar ilustrasi. Instansi tempat saya bekerja punya sasaran balita berjumlah sekitar 5000 orang. Petugas gizi yang ada 2 orang. Katakanlah 1 orang bertanggung jawab terhadap 2500 balita. Hari kerja 6 hari. Apakah setiap hari petugas gizi harus mengunjungi rumah 400 orang balita?

Untuk itulah, kader posyandu kami minta untuk melaksanakan sweeping, mengunjungi dan menimbang balita yang tidak datang ke posyandu, dari rumah ke rumah. Demi agar perkembangan berat badan balita-balita itu terpantau. Tapi hal ini bukan malah menyelesaikan masalah. Orangtua semakin tidak membawa anaknya ke posyandu. Katanya: ngapain ke posyandu, kan kadernya yang dateng ke rumah. *bikin pengen garuk tembok nggak sih.

Seharusnya, jika melihat perkembangan seperti ini, kepala lingkungan atau siapapun yang berwenang di tempat tersebut, harus memperingatkan warganya yang tidak datang ke posyandu. Masak petugas puskesmas yang 'ngobrak-ngabrik' warga? Apa bargaining power kami untuk hal tersebut?

Bukannya puskesmas tidak pernah mengajak bicara pihak berwenang mengenai hal ini. Tapi ya seperti itulah. Kecenderungannya dibiarkan saja tanpa kelanjutan upaya yang berarti. Posyandu nggak dianggep penting kali ye...

Gimana? Complicated kan. Jelas saya tidak terima jika dikatakan petugas puskesmas tidak bekerja.

3. Kasus gizi buruk adalah preseden negatif untuk para pejabat. Yah, kalo yang ini saya maklum lah. Dimana-mana berita buruk adalah santapan empuk buat media. Bad news is a good news. Buat media-media kelas gurem, berita buruk sangat membantu mereka menaikkan oplah. Yang jadi sasaran? Ya para pejabat bersangkutan.

Kasus gizi buruk memang membuat merah telinga para pejabat. Gitu-gitu gizi buruk kan terkait juga dengan urusan politik. Hanya menurut saya, jika memang kenyataan yang ada memang benar begitu, memang benar kasus gizi buruk banyak, haruskah ditutup-tutupi? Ya saya bukan pejabat sehingga saya tidak bisa merasakan efek politik jika kasus gizi buruk ini mencuat.

Speaking the truth is (not) easy....





Jumat, 12 Oktober 2012

#danisa

Iseng main edit foto.. :D

Jumat, 05 Oktober 2012

Pantai Nipah: Kombinasi Pantai dan Ikan Bakar Sedap :9

Awalnya kami (saya, suami, dan adik-adik) nggak niat ke Pantai Nipah. Niat awalnya adalah nyari ikan bakar dan pengen makan langsung di TKP. Nggak pake maen ke pantainya. Beberapa kali suami bawa oleh-oleh ikan bakar. Itu kalo dia pulang kantor dari Tanjung memutar lewat Senggigi. Jadilah kami siang itu berangkat mencari ikan bakar.

Sampai di tempat, karena masih siang dan kami juga baru saja makan, kami menunda acara makan ikan bakarnya. Lagipula melihat-melihat pemandangan di sepanjang pantai arah barat laut pulau Lombok ini sungguh tidak bisa dilewatkan.

Beberapa kali kami deg-deg-an saat mobil kijang tua yang kami gunakan melalui jalan menanjak. Jalan menanjak yang dilalui pun nggak main-main meskipun nggak terlalu ekstrim sih (maksudnya apa coba). Lumayan lah bikin was-was. Takut aja mobil yang kami pake nggak kuat nanjak trus mundur..duuuurrrr.. Kan lucu.

Dari rute dan kontur jalan tersebut, saya membayangkan suami dari Tanjung pulang dengan memutar via Nipah. Ya Allah jauhnya...

Saya pun ngomel: "Besok-besok nggak usah beli ikan bakar lagi. Jauhnya kayak gini. Jalannya kelok-kelok lagi." Suami hanya tertawa. Saya jalannya nyante aja kok, katanya. Jawabnya dengan nyante pula... -___-

Pantai Nipah terletak di kabupaten Lombok Utara. Butuh waktu sekitar 30 menit dari Mataram untuk nyampe kesana. Rutenya adalah ikutin aja jalan raya Senggigi teruuuuuus ke utara. Jalan yang dilalui, meskipun berkelok dan banyak tanjakan, tapi kondisinya mulusss lusssss. Kalo pernah baca ulasan DetikTravel tentang Pantai Nipah disini, saya nggak setuju amat sama judulnya. Lha wong sapi yang ada paling berapa ekor, dibilang pantai penuh sapi. Kalo bandingin sama sapi yang merumput di pantai Kerandangan ya hampir sama lah... Dasar nyari judul yang sensasional biar dibaca :p

Berikut adalah foto-foto yang saya ambil selama jalan-jalan. Fotonya diambil pake kamera handphone sederhana saya. Maklum ya kalo hasilnya pas-pasan.. ;D

Selasa, 04 September 2012

Sembalun *sekedar foto

Saya belum pernah ke Sembalun. Jadi kalo suami cerita tentang Sembalun, Rinjani, dan kawan-kawannya, saya cuma bisa bengong aja. Tapi giliran ditodong kapan ngajak jalan-jalan kesana, jawaban suami pasti: "ntar......"

Sembalun adalah sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Rinjani, salah satu gunung legendaris di Indonesia. Secara administratif, Sembalun terletak di kabupaten Lombok Timur.

Berikut adalah hasil jepretan suami via ponsel saat ia melewati Sembalun beberapa hari yang lalu. Harap dimaklumi jika hasilnya pas-pas-an ;)

Kalo ngeliat foto ini, Sembalun kayak direngkuh sama bukit-bukit kokoh itu ya.. Seperti benteng yang menjaga Sembalun dari serangan dunia luar atau alien *ini apa sih..
Bukitnya keliatan pada botak ya.. Kalo semuanya hijau pasti keren foto ini.
Hawanya mesti adem ya disini... :)
Sembalun terkenal dengan hasil pertaniannya. Stroberi, kentang, bawwang putih, adalah beberapa komoditas pertanian unggulan Sembalun. 

Selasa, 07 Agustus 2012

ASI: Sebuah Perjuangan (part 4)


Part ini tidak hanya bercerita tentang ASI buat Danisa, tapi juga kejadian-kejadian lain yang terjadi pada waktu itu. Saya percaya kejadian-kejadian ini memberi hikmah pada saya dan keluarga.

Kamis, 02 Agustus 2012

ASI: Sebuah Perjuangan (part 3)

Berhubung World Breastfeeding Week (1-8 Agustus), saya menulis lagi tentang perjalanan dan perjuangan saya memberi ASI pada Danisa.

Jumat, 20 Juli 2012

Liburan ke Pelangan, Sekotong

 Bulan Juni lalu, saya dan keluarga besar menyempatkan diri untuk liburan di Pelangan, Sekotong. Jauh sih tempatnya dari Mataram, tapi nggak sampe bikin pantat tepos lah seperti yang dibilang bapak saya. Ah, bapak saya  memang suka lebay kalo masalah pergi jalan-jalan atau liburan (baca postingan sebelum ini).

Kami menginap di villa yang dikelola oleh salah seorang keluarga. Harga standar villanya 1,5 juta untuk 1 malam, terdiri atas 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, dan disediain makan. Tapi, berhubung keluarga, kami dikasi harga keluarga juga hehehe, dengan catatan kami bawa makanan sendiri dan masak sendiri.

Rencana kami sebelumnya adalah main-main ke Gili Nanggu, gili yang banyak ikan warna-warni, pantainya bagus. Tapi karena telat nyewa perahu, batal deh main ke Gili Nanggu. Sedangkan pantai di depan villa nggak terlalu istimewa. Pasirnya item. Enaknya pantai itu nggak ada ombak, jadi sepupu yang masih mocil (monster cilik) bisa dengan bebas dan aman gebyar gebyur.

Meskipun nggak jadi liat pantai yang bagus, liburan kali ini berkesan. Jarang-jarang kami bisa pergi liburan dengan personil sebanyak ini. Saya lupa berapa jumlah orangnya, tapi bayangkan saja 3 mobil keluarga sangat penuh isinya.

Ini beberapa foto yang diambil lewat kamera hp saya....

Kamis, 28 Juni 2012

"Mau Ngapa'in ke Gili Trawangan?"

Keluarga saya (baca: orangtua, bukan... tepatnya Bapak saya), entahlah.... Beliau sama sekali nggak doyan jalan-jalan, pergi liburan. Kalaupun mau, itu hanya ke tempat-tempat tertentu. Bapak nggak terlalu suka ke pantai. Sukanya ke tempat wisata yang teduh seperti kebun wisata. Berbanding terbalik dengan Ibu yang amat sangat doyan jalan-jalan. Ibu juga amat sangat doyan sekali sama wisata pantai.

Kalau mau ngajak Bapak jalan, ngomongnya mesti dengan persiapan mental. Pake persiapan mental karena biasanya balesan Bapak seringnya seperti ini:
- "mau ngapa'in kesana?" (gubrak. Jalan-jalan ya jalan-jalan. Jalan-jalan mesti pake alesan ya?)
- "kok seneng sekali keluar rumah sih? Ganjak." (Ini yang paling menohok. Ganjak itu artinya kira-kira orang yang senengnya keluar rumah, nggak betahan di rumah. Padahal kan nggak tiap minggu ini bisa keluar jalan-jalan)
- Bapak hanya menghela napas. Napas berat. (yang bisa diartikan Bapak ogah, males, nggak setuju, yah gitu deh..).

 Kalau berhasil mengajak Bapak jalan, selain tempat tertentu, ada juga persyaratan lain. Ada tempat buat istirahatnya nggak, tersedia makanan yang proper nggak, bahkan rute yang ditempuh pun harus jelas.

Pernah suatu ketika adik saya Esthi mengajak Bapak jalan-jalan wisata kuliner ke suatu tempat di Lingsar. Tempat ini belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Esthi mendengar kalo tempat ini enak makanannya, makanan khas lesehan Lombok. Jadilah mengajak Bapak jalan kesana.

Karena belum tau tempatnya, beberapa kali perjalanan terganggu dengan "nyasar". Nah, karena harus bertanya berkali-kali, kebingungan di tengah jalan, akhirnya bisa ditebak. Bapak ngomel sepanjang jalan.

"Makanya, kalo nggak tau tempatnya, nggak usah ngajak-ngajak kayak gini!"

Yaelaaaahhhh, kalo kayak gini caranya gimana mau diajak travelling kayak di buku-buku itu??

Bapak bukannya kuper tentang destinasi wisata, khususnya di wilayah Lombok Barat. Bapak dulu pernah menjadi salah satu kepala Bagian di Dinas Pariwisata kabupaten Lombok Barat. Otomatis Bapak sering mengunjungi tempat wisata di seantero Lombok Barat.

Tapi ya gitu.. Bapak nggak pernah ngajak anak-anaknya kesana. Maksud saya bukan nebeng di perjalanan dinasnya. Tapi mbok ya sekali-sekali anak-anaknya diajak ngeliat tempat wisata itu...

Jika semua orang memuji keindahan alam di Gili Trawangan dan saat anak-anaknya merengek minta diajak jalan-jalan ke Gili Trawangan, inilah komentar Bapak:

"Mau ngapa'in kesana? Disana panas. Ndak ada berugak, ndak ada tempat istirahat."

Gubrakkkk.






Selasa, 12 Juni 2012

Where is the love?

Judul lagu dari grup musik Black Eyed Peas ini mungkin paling cocok menggambarkan suasana hati saat saya menulis posting-an ini. Lebih klop lagi karena sebelumnya saya sedang membaca cerita Kupu-kupu Monarch dalam buku Tere Liye, Berjuta Rasanya. Tambah klop lagi karena setelah itu saya menyusui Danisa yang terbangun dari tidurnya.

Saya sengaja tidak menampilkan secara eksplisit tujuan saya menulis posting-an ini. Bahkan dalam blog pribadi pun, saya tidak berani mengungkapkan dengan gamblang perasaan saya. Saya terlalu takut. Tapi, saya juga terlalu bosan mengungkung apa yang saya pikir dan saya rasakan selama ini.


Senin, 21 Mei 2012

Selamatkan Setiap Ibu di NTB

Tulisan ini merupakan tulisan saya yang saya ikutsertakan dalam event Lomba Menulis "Bangga Menjadi Orang NTB" Desember 2011 kemarin. Saya bela-belain nyuri waktu nongkrong di depan laptop buat nulis waktu kegiatan Lomba Balita Sejahtera Indonesia Kota Mataram di aula lantai III kantor walikota.

Tapi, nggak menang..nggak masuk nominasi juga...

Hiks.

Mungkin karena tulisan yang saya buat ini melenceng dari tema..

Yasudlah..daripada tulisannya mubazir nggak kesebar, saya post disini deh...

Senin, 07 Mei 2012

Curhat Petugas Promkes (#1)

Kenapa judul ini saya kasih tanda #1? Soalnya saya punya bayangan, mungkin suatu saat nanti saya akan curhat lagi. Nah, curhat yang berikutnya akan saya beri tanda #2, dan seterusnya....

Jumat sore, 4 Mei kemarin, saya datang ke acara peluncuran posyandu karang lansia Aisiyah di lingkungan Presak Barat, kelurahan Pagutan. Sebenernya yang diundang Kepala Puskesmas, tapi Bu dokter menugaskan saya. Sebenernya juga ada petugas pembina posyandu karang lansia, tapi berhubung anaknya lagi sakit, jatuhlah tugas menghadiri itu pada saya. Kegiatan peluncuran posyandu karang lansia ini dilaksanakan di TPA Hidayatul Mustakim, yang terletak di tengah perkampungan padat penduduk.

Sore itu, kegiatan posyandu karang lansia diisi terlebih dahulu dengan ceramah dari salah satu pengurus Aisiyah Kota Mataram. Isi ceramah tersebut adalah pentingnya menjaga kesehatan dalam pandangan Islam. Kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan untuk para lansia. Tenaga kesehatan (dokter, perawat), obat-obatan, serta konsumsi seluruh peserta yang yang hadir dalam acara tersebut, disediakan oleh Aisiyah.

Sebelumnya, saya sudah menduga posyandu karang lansia ini didukung oleh Aisiyah, organisasi wanita milik Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat besar di Indonesia. Buat saya seorang petugas promkes, saya tidak ambil pusing tentang apa dan siapa yang berada di balik sebuah upaya kesehatan yang bersumberdaya dari masyarakat itu sendiri. Asal mereka melakukan upaya promotif, preventif, bahkan kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan kaidah kesehatan itu sendiri, promosi kesehatan tentu dengan senang hati menerimanya. Bukankah itu berarti bagus, ada upaya mandiri dari kelompok masyarakat untuk berbuat atau bertindak dalam hal kesehatan tanpa meminta bantuan pemerintah (dalam hal ini puskesmas). Itu karena mereka mandiri.

Namun, pemikiran saya ini sepertinya kurang sejalan dengan petugas pemegang program karang lansia. Awalnya saya bercerita tentang kegiatan sore itu dan masukan-masukan yang diberikan dr.Wiwin, dokter yang bertugas di posyandu karang lansia. Menurut teman sejawat saya ini, bahwa menurut Dinas Kesehatan, penamaan posyandu karang lansia tidak boleh menggunakan nama organisasi. Pakai nama lingkungannya saja.

Kening saya langsung berkerut. Kenapa tidak boleh? Apa karena takut posyandu karang lansia ini akan dikait-kaitkan dengan kegiatan politik ormas yang bersangkutan? Malah ada pula yang mengkhawatirkan nanti timbul friksi antar ormas, mengingat tidak jauh dari sana ada ponpes yang digawangi oleh NU. Terus terang saya gregetan. Jauh banget sik mikirnya. Udah jauh, negatipppp lagi. Menurut saya, kenapa mesti mengkhawatirkan timbulnya friksi sih?? Bukankah kesehatan adalah hak dan kewajiban setiap orang, tanpa memandang suku, agama, ras, bahkan urusan politik? Bukankah kesehatan adalah wilayah netral? Bahkan jika ada FPI -ormas yang saat ini dimusuhi banyak orang- ada di belakang upaya kesehatan mandiri tersebut, instansi kesehatan tidak boleh meng-anaktiri-kan upaya kesehatan mandiri dari masyarakat tersebut.

Sebagai seorang abdi negara yang bertugas di bidang kesehatan, menurut saya -sekali lagi menurut saya-, kita tidak usah dan tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut. Jalankan saja tugas kita sebagai seorang tenaga kesehatan yang berniat melayani masyarakat luas. Syukur-syukur to, ada kelompok masyarakat yang mau mendukung kegiatan posyandu karang lansia ini. Hal ini langka saya temukan, disaat masyarakat tengah berada dalam era yang selalu mendengung-dengungkan, " mana bantuan pemerintah, mana perhatian pemerintah?".

Adanya tenaga dokter, perawat, dan obat-obatan yang seluruhnya disediakan oleh Aisiyah juga saya apresiasi dengan sepenuh hati. Saya tidak setuju jika ada yang berpikiran: Jika semua sudah disediakan, terus apa fungsi petugas dari puskesmas disana?

Kalau saya, jika ada orang lain yang mengerjakan tugas saya, saya tentu merasa terbantu. Jika merasa terbantu, sudah sepatutnya saya berterima kasih. Ternyata saya tidak sendirian dalam melayani masyarakat. Selanjutnya, saya pribadi (ini menurut pendapat saya pribadi loh ya) akan merasa sangat malu jika saya tidak turut berperan serta dalam kegiatan tersebut. Masak sih petugas pemegang programnya nggak tau bahwa ada kegiatan di masyarakat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi/job description) nya? Saya adalah pegawai negeri sipil, bagian dari pemerintah dan tentu membawa nama institusi pemerintah. Ke-tidakikutserta-an saya bisa-bisa dianggap sebagai lepas tangan pemerintah.

Berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat seringkali membuat pemikiran saya bentrok dengan pemikiran mayoritas teman-teman sejawat. Jika melakukan penyuluhan, sebagian besar sasaran penyuluhan pasti meminta waktu sore atau malam hari, sama seperti kegiatan posyandu karang lansia Aisiyah ini. Pada waktu itulah mereka memiliki waktu luang. Sama halnya seperti saya, pagi dan siang hari mereka sibuk bekerja atau sibuk dengan urusan domestik di rumah.

Jadilah saya melakukan penyuluhan di luar jam dinas kantor. Saya ras tidak pas jika saya meminta masyarakat untuk mengikuti jam kerja saya. Bukankah saya juga ingin agar informasi kesehatan juga menyebar pada kelompok potensial? Bagaimana jika kelompok potensial tersebut memiliki waktu luang yang berbeda dengan jam dinas saya? Apakah baik jika meminta mereka ikut kegiatan penyuluhan dengan mengikuti jam dinas saya?

Sebenernya tidak pas juga sih. Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat adalah subyek. Yang menentukan. Yang membuat pilihan. Bukan sebagai obyek. Lihat sendiri kan bagaimana jam kerja mereka yang bekerja sebagai fasilitator, entah di LSM atau badan pemberdayaan masyarakat. Kalau saya, asal tidak lewat dari jam 8 malam, saya mau datang memberi pesan kesehatan pada masyarakat. Tapi bukan berarti saya rajin penyuluhan malem kok. Kalau waktunya sore hari, insyaAllah saya masih bisa. Sejak ada Danisa, saya sering menolak untuk penyuluhan di malam hari. Tunggu anak saya agak gedean dikit ya, begitu saja yang saya katakan jika ada masyarakat yang meminta penyuluhan malam hari.

Hanya segelintir teman sejawat yang mau diajak kerja datang ke masyarakat pada waktu sore atau malam hari. Sebagian dari mereka berdalih: kita sudah capek kerja pagi sampe siang, masak mau kerja sore/malem lagi. Belum lagi ngurus rumah sama anak-anak.

Dalam hati, saya teriris...

Saya membayangkan teman-teman LSM yang tanpa lelah memfasilitasi masyarakat. Saya membayangkan teman-teman yang bekerja sebagai sales, berkeliling dari rumah ke rumah, mengetuk pintu yang satu ke pintu yang lain. Tidak jarang mereka diterima dengan muka dan jawaban yang ketus.

Astaghfirullah, sungguh tidak bersyukurnya sebagai seorang pegawai negeri sipil yang tenang tiap tanggal 1 dipastikan dapet gaji.

Semoga saya selalu diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah swt untuk menjalankan tugas sebagai petugas promkes dengan sebaik-baiknya. Amiiiiiinnnn..

Note: Ngomong-ngomong tentang penerimaan yang ketus, saya jadi ingat betapa marahnya salah seorang teman sejawat yang dicuekin masyarakat waktu melakukan kunjungan rumah. "Apa coba pikirannya? Kita ini petugas puskesmas, dari pemerintah. Kok dicuekin?!". Dalem hati saya ketawa: "Ya emang kenapa kalo kita petugas puskesmas? Masyarakat harus sungkem gitu tiap kita dateng ke rumahnya?"

Kamis, 29 Maret 2012

ASI: Sebuah Perjuangan (part 2)

Niat untuk memberi ASI saja kepada Danisa tidak pernah saya duga akan mendapat komentar yang tidak enak dari orang-orang di rumah. Saya dasarnya punya sisi kepribadian yang tidak mudah menerima kritik, cepat runtuh ketika mendengar komentar yang tidak menyenangkan. Hal tersebut justru memperparah situasi. Ketika mbah kakung dan mbah uti-nya Danisa selalu memborbardir saya dengan pertanyaan dan pernyataan yang bernada pesimis dan meremehkan ASI, saya justru bereaksi negatif. Saya membalas pertanyaan dan pernyataan itu dengan tidak sabar dan penuh emosi. Saya jengkel karena tidak didukung. Saya marah karena air susu saya diragukan.

Komentar pertama yang mencuat tentang keputusan saya memberi ASI saja untuk Danisa adalah saat saya pulang dari RS Risa (baca tulisan ini). Begitu sampai di rumah, pertanyaan pertama dari bapak saya adalah: "Gimana, dokternya nggak nyuruh buat ngasi susu formula..?"

Saya menghela napas. " Enggak..", kata saya menjawab pendek. Enggan berpanjang-panjang.

Bapak saya menyambung lagi, " ASI nggak cukup Ka buat anaknya. Harus dibantu (susu formula)."

Emosi saya langsung naik mendengar pernyataan itu. "Bisa kok. Temen Ika aja bisa pake ASI aja..". Ketus.

" Iya..itu kan temennya Ika..."

Saya tambah ketus membalas, " ASI dimana-mana sama aja!".

Bapak dan saya sebenarnya memiliki kepribadian yang sama. Sama-sama keras kepala, sama-sama teguh memegang pendirian. Tapi, bapak saya ini doyan mengeluarkan komentar yang bikin 'jleb'. Nggak tedeng aling-aling. Kemudian bertemu dengan kepribadian saya yang tidak mudah menerima kritik, jadilah perang adu urat syaraf. Selamat.

Komentar-komentar bernada pesimis yang berseliweran di rumah jelas membuat pertahanan saya runtuh. Suami? Ia berada dalam posisi mengambang. Sebenarnya, suami mempercayakan sepenuhnya pada saya tentang keputusan memberi ASI ini. Tapi ya itu tadi, karena kami masih tinggal di rumah orangtua saya ditambah dengan kepribadian bapak yang dominan, terkadang membuat suami saya ciut untuk membela saya di muka umum.

Usia 2 minggu berat Danisa berkurang 300 gram menjadi 2800 gram. Saya tambah drop. Saya cemas apakah niat saya memberi ASI. Kondisi tubuh Danisa juga terlihat lebih langsing dari waktu ia dilahirkan. Lagi-lagi, kondisi ini memancing keluarnya komentar-komentar sinis nan pedas itu. Saya disalahkan semua orang. "Makanya makan yang banyak..biar air susunya banyak..".

Saya sedih. Disaat tengah berusaha membangun pertahanan akan niat memberi ASI, disaat saya menjaga pertahanan itu agar tidak berceceran, saya disalahkan. Mungkin karena memang saya yang dari sononya tidak mudah menerima kritik, jadinya seperti itu.

Saya waktu itu tidak tau bahwa adalah hal yang lumrah jika berat badan bayi baru lahir berkurang 10% di minggu awal kehidupannya. Hal itu terjadi karena bayi membuang semua cairan yang ia bawa waktu lahir sehingga berat badannya menyusut. Saya juga tidak paham benar bahwa ASI bertambah banyak jika semakin banyak dikeluarkan (disusui atau diperah) dan produksi ASI sangat bergantung pada kondisi emosional ibu.

Ini foto Danisa waktu berusia 3 hari
 Danisa waktu berusia 2 minggu     


Sabtu, 10 Maret 2012

Mengenang HM Ruslan

Sabtu malam, 25 Februari, berhembus berita lewat berbagai media sosial: Twitter, BM, BBM, bahwa mantan walikota Mataram HM Ruslan meninggal dunia. Saya sontak kaget. Selama ini memang tidak pernah terdengar kabar apapun tentang beliau. Banyak mention dari teman-teman akun @infomataram yang menanyakan kebenaran kabar tersebut. Saya yang tengah kaget tidak mau ikut 'terprovokasi'. Saya diamkan saja mention-mention itu. Meskipun ada beberapa akun yang menyatakan bahwa beliau sudah meninggal dunia, namun saya tetap bergeming diam. Tidak mau membuat twit apapun. Hati kecil saya masih tidak percaya.

Namun, upaya saya untuk terus memperbaharui informasi terkait berita tersebut terkendala oleh browser di telepon selular saya. Saya menggunakan ponsel yang 'masih' berbasis Symbian dengan browser Opera Mini. Kalo udah jam padat-nya Twitter (jam 8 malam ke atas) dapat dipastikan browser saya ngadat, sengadat-ngadat-nya. Karena bingung, saya menghubungi admin akun @infolombok via WhatsApp, menanyakan kebenaran berita tersebut. Ditengah browser yang tengah loading tersendat-sendat, saya sempat melihat twit terbaru bahwa kabar tersebut hoax, tidak benar. Saat itu, bapak HM Ruslan tengah kritis dan sedang mendapat perawatan di ruang ICU RS Harapan Kita Jakarta. Beliau baru saja menjalani operasi bypass jantung.

Esoknya, Minggu, 26 Februari, berita tentang wafatnya bapak HM Ruslan kembali beredar. Kali ini benar adanya. Dari berbagai sumber yang dipercaya, mantan walikota Mataram yang memimpin selama 2 periode itu menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 17.00WIB.

Saya turut berduka cita. Sedalam-dalamnya.

Saya tidak mengenal beliau secara pribadi. Namun, rasa kehilangan entah kenapa begitu dalam saya rasakan. Mungkin itulah dampak jika seseorang memiliki amal perbuatan yang begitu membekas di hati banyak orang.

Saya hanya bertemu langsung dengan pak Ruslan sekitar 3 kali. Itupun dalam pertemuan yang dihadiri orang banyak. Kesan pertama saya terhadap beliau: to the point, apa adanya, dan sangat membumi. Jika pejabat memberi kata sambutan dengan bertele-tele, lain halnya dengan beliau. Saya juga sangat senang jika ada pejabat yang memberi sambutan dengan banyak menyelipkan bahasa Sasak di dalamnya.Terkesan tidak kaku dan gayeng. Pak Ruslan seperti itu.

Waktu saya mengajak teman-teman @infomataram untuk berbagi kesan tentang beliau, kesan yang disampaikan oleh salah seorang teman adalah "beliau tidak sungkan naik sepeda motor saat menghadiri perayaan ogoh-ogoh sambil menyalami warga yang berkumpul di pinggir jalan". Saya hanya tersenyum membaca kesan itu.

Lain halnya dengan kesan yang disampaikan oleh teman saya petugas promosi kesehatan di puskesmas Mataram. Mbak Nana (teman saya itu) suatu sore berjalan-jalan dengan suaminya di daerah Karang Bedil, kawasan tempat tinggal pak Ruslan. Mbak Nana kebetulan saat itu bertemu dengan beliau yang tengah berbincang-bincang dengan seseorang di pinggir jalan. Mbak Nana menyapa beliau sambil tersenyum biasa: "Pak...."

Pak Ruslan menjawab sapaan teman saya itu dengan reaksi tersenyum sambil mengganggukkan kepala dengan takzim. Persis ketika kita bertemu dengan orang yang sangat kita hormati. Mbak Nana sampai salah tingkah melihat reaksi pak Ruslan seperti itu. Mbak Nana mengungkapkan pada saya,

" Aduh dek, pak Ruslan itu mbok ya jangan gitu caranya (membals sapaan saya). Saya kan jadi malu...saya ini siapa sih dek, sampai dikasih senyuman dengan cara seperti itu....."

Subhanallah...

Selamat jalan pak Ruslan...
Semoga Allah swt memberikan tempat yang paling indah untuk Bapak..
Amin amin ya Robbal alamin...

Rabu, 15 Februari 2012

ASI: Sebuah Perjuangan

Cerita tentang ASI dan menyusui ini saya yakin akan jadi sangat panjaaaaanggg. Di bagian ini, saya akan bercerta tentang awal perjuangan memberi ASI.

Senin, 13 Februari 2012

Romantisnya Menyusui.. :)

Pas mau menulis ini, ada lagu romantis lagi muter di Puskesmas: If You're Not The One-nya Daniel Bedingfield. Cocok sama feeling saat menyusui Danisa. Romantis. Rasa cinta dan sayang begitu meletup-letup saat menatap Danisa menempel di dada saya. Saat itulah terasa bahwa anak adalah anugerah Allah pada setiap orang tua. Terasa bahwa anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya.

Memang begitulah menyusui. Ia tidak hanya sekedar memberi ASI, tidak hanya memberi nutrisi terbaik untuk anak-anak kita, tapi juga mengalirkan kasih sayang. Dengan menyusui, jelas terjadi kontak fisik. Seperti yang telah kita pahami bersama, kontak fisik antara ibu dan anak akan mempererat hubungan antar keduanya. Kontak fisik yang terjadi pun tidak hanya antara mulut bayi dan dada ibu. Saat menyusui Danisa, saya membelai rambutnya, menatap matanya, mengelus alisnya, mencium keningnya, bahkan mencubiti pipinya dengan gemas. Mirip ya dengan perilaku kita saat dengan pasangan terkasih. Bahagia kan :)

Hormon oksitosin, hormon yang timbul saat perasaan bahagia hadir, akan semakin memperlancar keluarnya ASI. Menyusui memang proses yang saling timbal balik antara banyak faktor. Tapi yang memegang peranan penting dalam proses menyusui adalah kondisi psikologis ibu. Saat ia merasa bahagia, nyaman, relaks, dijamin ASInya akan lancar. Jika saya tiba di rumah setelah beraktifitas di kantor, bertemu Danisa rasa lelah itu akan menguap. Panasnya udara di siang hari akan terasa adem jika Danisa sudah bersama saya, terutama saat ia menyusui. Danisa menempel pada saya, saya peluk, kemudian saya bersandar di kamar untuk menyusui Danisa. Luar biasa adem. Panas dan lelah menguap seketika.

Mengingat bahwa menyusui adalah aktifitas yang paling dicintai oleh bayi, maka saya tidak habis pikir jika ada orangtua yang menggunakan cara-cara aneh untuk menyapih anaknya. Mulai dari mengoleskan obat puyer, memberi balsem, mengoleskan lipstik, sampai memberi jampi-jampi. Tujuannya agar anak tidak tertarik lagi menyusui. Kenapa kita tidak mencoba berada di posisi anak kita? Kita pasti kecewa jika sesuatu yang kita sukai dan cintai secara tiba-tiba 'dirampas' begitu saja. Kita dilarang untuk melakukan sesuatu yang kita sukai tersebut, dengan cara yang ekstrim. Begitu juga dengan perasaan anak-anak.

Danisa selalu kangen menyusu. Tiap saya tiba di rumah, dia pasti menangis. Dulu dia memang hanya menangis dan diam jika saya susui. Tapi sekarang karena ia sudah bisa lebih berekspresi, permintaannya untuk menyusu ditandai dengan gerakan mengobrak-abrik baju saya, kemudian menarik-narik leher baju, lalu mengintip ke dalam, hahaha...

Minggu, 12 Februari 2012

Tentang Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Saya tau apa itu Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Tapi, sekedar tau ternyata tidak cukup.

Setelah Danisa diletakkan oleh bidan di dada bagian kiri saya, saya segera tersadar, "ini waktunya IMD." Saya yang saat itu diliputi perasaan yang sangat bahagia, mengajak Danisa ngobrol. Danisa hanya diam sambil matanya yang sembab menatap saya. Rambutnya awut-awutan, masih basah dengan cairan ketuban. Sekilas, Danisa saat itu terlihat seperti buyutnya, Husin Kamil. Putih, sipit, dan keriting.

Kembali ke proses IMD. Bidan memang bermaksud melakukan IMD pada saya, tapi sangat tidak sesuai dengan proses  IMD yang seharusnya. Saya baru menyadari ini setelah mem-follow @aimi_asi. Sebelumnya, saya hanya ho'oh ho'oh saja waktu membaca teori tentang IMD. Bayangan saya, menyusui itu akan mudah.

Tidak. Saya salah besar.

Proses IMD sangat mendukung keluarnya ASI (silahkan baca link ini). Pada saya, seperti yang saya tulis di atas, IMD tidak dilakukan dengan seharusnya. Danisa hanya diletakkan selama kurang dari 10 menit di dada saya. Pantas ia hanya diam, tidak mencari puting susu. Danisa kurang diberi waktu untuk IMD. Alasan bidan, ntar bayinya kedinginan. Saya waktu itu hanya nurut aja. Kalau saya inget-inget juga, di klinik itu, ruangan untuk partus hanya ada 1 dengan 2 bed. Mereka mau cepet-cepet biar bisa gantian sama pasien lain kali ya..

Bisa jadi, tidak dilakukannya IMD dengan benar itu menyebabkan ASI saya baru keluar pada hari ke-3. Danisa tidak bisa dibilang lulus ASI Eksklusif karena ia mendapat cairan glukosa.

Sabtu, 14 Januari 2012

Danisa: 10 Januari, setahun yang lalu (bagian 2)

*setelah bagian terdahulu saya bercerita tentang awal persalinan, bagian ini akan bercerita tentang klimaks proses kelahiran Danisa..

Jumat, 13 Januari 2012

Kamis, 12 Januari 2012

Ulang Tahun Yang Antiklimaks....


Tanggal 10 Januari kemarin, Danisa, tepat berusia 1 tahun. Saya dan bapaknya, sebenarnya tidak berniat merayakan dengan kegiatan apapun. Tapi, mengingat kehadiran Danisa dalam kehidupan kami dan perjalanannya selama 1 tahun ini, sudah seharusnya kami sebagai orangtuanya bersyukur. Rasa syukur itu kami wujudkan dengan mengundang anak-anak kurang mampu dari kelompok pengajian. Mereka kami undang untuk mengaji di rumah dan membacakan doa untuk Danisa.

Layaknya cucu pertama (dan kebetulan kami masih tinggal serumah dengan orang tua saya), Mbah Kakung dan Mbah Uti-nya Danisa sangat antusias mengadakan acara untuk ulang tahun Danisa. Seperti biasa, Mbah Uti-nya Danisa selalu galau alias nggak punya konsep jelas tentang mengadakan sebuah acara. Mau ngundang keluarga nggak ya? Atau ngundang anak-anak pengajian aja? Mau pake balon-balon atau nggak usah? -__-

Beruntunglah, ada saya dan adik-adik yang membantu mempertegas konsep. :D

Akhirnya, mempertimbangkan budget dan umur Danisa yang baru 1 tahun belum ngerti apa-apa tentang happening-nya sebuah acara, saya dan suami memutuskan untuk mengundang anak-anak kurang mampu untuk mengaji bersama di rumah. Untuk keluarga, cukup kami kirimi dengan nasi kotak. Sementara untuk di rumah, kami hanya berkumpul bersama, sambil meniup lilin kue ulang tahun dan makan nasi kuning berjamaah.

Seperti biasa juga, ibu saya selalu bersemangat jika menyangkut 'konsumsi'. Entah darimana semangat ini datang. Ibu selalu punya energi tambahan untuk menyusun menu, belanja ke pasar, beli ini-itu, dan memasak. Padahal waktu ibu sudah sangat tersita untuk jam kantor, dari jam 7 sampai jam 4 sore. Tapi, saya biarkan saja. Ibu bahagia dengan kesibukan dan kelelahan mengurus konsumsi itu.

Sementara adik-adik saya memiliki ide untuk membuat kaos seragam. Kaos ini harus dipakai saat acara inti di rumah. Erlin yang bertugas berburu kaos putih polos dan mencari tukang sablon. Kaos itu nanti bertuliskan Dan1(st)sa. Ide yang seru juga, pikir saya...

Jam 17.00, anak-anak kecil yang kami undang datang. Mereka mengaji bersama, membaca Surat Yassin dan berdoa untuk Danisa. Danisa sangat senang melihat banyak anak kecil datang ke rumah. Saya mengangkat tangan Danisa ketika teman-temannya itu membaca doa untuk Danisa.


Selesai pengajian, Bapaknya Danisa mengantar anak-anak itu ke tempat semula. Setelah itu, berkeliling mengantar nasi kotak ke keluarga.

Disinilah antiklimaks itu dimulai.

Sehabis sholat maghrib, Bapaknya Danisa belum kembali ke rumah. Saya dan adik-adik sudah siap dengan kaos seragam yang bertuliskan Dan1(st)sa. Sementara Mbah Kakung dan adik saya Adi, ada jadwal latihan band untuk tampil di TVRI NTB Sabtu malam besok. Mbah Kakung juga menunggu semua berkumpul untuk tiup lilin dan makan nasi kuning bersama.

Ditunggu sampai waktu Isya, Bapaknya Danisa juga belum nyampe rumah. Akhirnya karena sudah ditunggu oleh personil band lainnya, Mbah Kakung dan Adi pun berangkat ke studio buat latihan. Ibu, yang seharian kecapekan memasak dan menyiapkan nasi kotak, langsung masuk kamar, tidur. Endang akhirnya memutuskan untuk berangkat les karena sudah terlambat.

Yahhh...

Kue ulang tahun dan nasi tumpeng jadi menganggur. Tidak ada yang mengelilingi mereka sambil makan bersama dengan wajah gembira, seperti bayangan saya semula...

Akhirnya, sekitar jam 8.00, Bapaknya Danisa tiba di rumah. Itu saja dengan muka yang sangat lelah. Bayangkan, pulang dari kantor yang jaraknya 40 kilometer dari rumah, langsung angkat-angkat perabot buat menyiapkan tempat untuk pengajian, menjemput-mengantar anak-anak, dan berkeliling mengantar nasi kotak ke keluarga.

Tapi mengingat anaknya belum meniup lilin di kue ulang tahunnya (dia melatih Danisa berhari-hari agar bisa meniup lilin lho), akhirnya dengan pasukan yang tersisa, kami meniup lilin dan memotong kue ulang tahun Danisa.

Selamat ulang tahun Nak, semoga sehat selalu, semoga menjadi anak yang selalu menyejukkan hati Bapak dan Ibu.

Amiiiiinnn...

Rabu, 11 Januari 2012

Baru Nyadaaaarrrrr...

Astagaaaaa...

Ternyata saya udah punya akun di blogspot iniiiiiihhhhh..

Kan ceritanya begini.

Blog saya di web sebelah, udah lama nggak aktif. Pas baru buka, lha kok penuh sama iklan ala online shoping. Saya jadi ilfil.

Ditambah lagi blog-blog keren yang saya liat itu kebanyakan di sini adanya.

Jadi, beberapa jam yang lalu, saya memutuskan membuat blog baru disini. Sama sekali lupa kalo sebenernya saya sudah punya akun.

Jadi yaaaa.. gimana yaaa..

Jadi malu sendiri...hehehehe..

Blog ini dilanjut aja dah ya ceritanya.. :)