Jumat, 07 November 2008

Komedi Yang Bikin Sedih

Beberapa waktu lalu, saya melihat di siaran berita tentang beberapa tayangan di televisi yang kena tegur dari salah satu badan penyiaran. Salah satu tayangan yang kena tegur itu adalah sitkom Suami-suami Takut Istri (STI). Waktu itu, saya sih cuek-cuek aja waktu denger beritanya.

Nah, tadi malem, baru deh saya ngeh dengan tayangan STI itu. Saya sih nontonnya cuma sekitar 15 menit aja. Abis itu males ngeliatnya. Eneg sama tayangannya.

Disitu digambarkan anak kecil yang udah girang banget sama hal-hal yang berbau uang (Karla dengan bangga memamerkan uang 50 ribu yang ia dapet dari mantan pacar ibunya), istri yang keterlaluan banget sama suami (Sheila membentak Karyo di depan mantan pacar Sheila).

Miris banget rasanya. Nggak ada pesan mendidiknya sama sekali (ya iyalah..ini kan buat hiburan, ngapain mikirin didik-mendidik segala..).

Emang gitu kali ya, yang namanya industri kapitalis. Masyarakat suka, uang tambah mengalir, ya lanjuuuuuuttt...

Jumat, 31 Oktober 2008

Lebaran di Pantai Ampenan..




Berhubung rumah salah satu kerabat yang saya kunjungi waktu Lebaran deket banget sama Pantai Ampenan, saya dan adek2 dengan narsis-nya berfoto-foto ria di sana.
Kue bawang dilupakan sejenak...

Minggu, 04 Mei 2008

Puisi Saya #1

Beberapa hari kemaren, waktu mau nulis di buku cerita, saya agak kaget. Ternyata buku cerita saya udah hampir habis. Tinggal berapa lembar lagi. Nggak nyangka..soalnya buku itu udah nemenin saya mulai tahun 2003. Jadi udah 5 tahun dia dengan pasrah dan rela saya coret-coreti. Oia..dulu saya manggil buku itu dengan " De..". Setiap saya mau nulis apa gitu, pasti awalannya "De....". Kayak manggil dia gitu. Tapi udah 2 tahun belakangan saya nggak manggil namanya dulu kalo mau cerita. Maap ya buku-ku sayang..

Karena nyadar udah 5 tahun dia nemenin saya, saya baca lagi buku itu dari halaman pertama. Saya kadang geli sendiri kalo inget-inget lagi kejadian-kejadian yang dulu. Gara-gara baca buku cerita saya dari awal lagi, saya juga baru nyadar. Puisi-puisi yang saya tulis di buku cerita itu kebanyakan punya tema yang sama. Tema itu adalah tentang calon suami saya kelak. Saya ngetawain diri sendiri. Soalnya keliatan kalo terobsesi banget, hehehehe...

Sabtu, 01 Maret 2008

Bunga Kamboja dari Bejo

Saya punya seorang sahabat. Namanya Ifa. Ifa dan saya adalah teman satu angkatan di FKM Unair. Gara-gara bergabung di Departemen Penalaran BEM, saya dan Ifa semakin hari semakin dekat. Semakin sering bercerita.

Anaknya kecil, putih, imut, dan cantik. Waktu belum terlalu mengenal Ifa, saya mengira Ifa adalah tipe perempuan yang kemayu, lemah lembut, sedikit penakut (hehehehe..piss Fa..). Tipikal perempuan Jawa yang sering diidentikkan orang lah.

Time goes by..saya semakin kenal dengan Ifa. Saya mempercayakan beberapa urusan pribadi padanya. Padahal saya nggak pernah gampang percaya sama orang lain. Tapi, sama Ifa lain. Karena semakin saya mengenal dia, saya semakin percaya padanya. Tak lain tak bukan karena Ifa adalah seorang yang bijak dalam memandang masalah. Saya lupa pada kesan pertama saat saya mengenalnya. Ifa yang saya kenal sekarang adalah Ifa yang memegang prinsip, tegas, dan gigih dalam mempertahankan keinginan.

Ya.. Dont judge a book by its cover.
------
Bejo adalah teman sekelas saya sewaktu SMA. Dari SMA dulu saya udah tau kalo emang sesosok Bejo adalah makhluk yang lain daripada yang lain. Kalo adu pendapat, sama Bejo sih nggak ada habisnya. Pendapatnya nyleneh nggak ketulungan.

Pas kuliah, saya semakin "takjub" dengan Bejo. Bejo tambah kurus, tambah nyentrik, dan rambutnya tambah panjang. Gondrong abeeeeeessss. Bejo keliatan nggak ambil pusing sama penampilannya. Kata Andre sih, anak nyeni kayak Bejo wajar kalo gondrong dan nyentrik gitu.

Tapi, suatu ketika pendapat saya seketika langsung berubah terhadap Bejo. Waktu itu, saya sedang mengikuti pelatihan WSLIC-2 di Batu. Mumpung ada di sekitar Malang, saya menghubungi beberapa teman yang ada di Malang, termasuk Bejo. Nggak beberapa lama, Bejo dan Nida dateng ke hotel tempat saya menginap.

Malam terakhir saya di Batu, saya sedang asik menikmati farewell party dengan teman-teman pelatihan. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel saya. Dari Bejo. " Er, aku ada di bawah. Turun ya.."
Saya agak kaget. Bejo nggak pernah bilang mau dateng lagi. Sampe di halaman hotel, tanpa basa-basi saya langsung menyembur Bejo dengan pertanyaan: " Kamu ngapain dateng lagi?". Nggak sopan banget sebenernya. Maksud saya adalah ada apa kok dateng lagi. Tapi yang keluar dari mulut saya kalimat kayak gitu.

Bejo mengeluarkan dua buah bungkusan dari balik motor. Saya heran ada dedaunan muncul dari bungkusan itu. Dengan gaya orang yang sebulan nggak liat makanan, saya dengan rakus dan beringas membuka bungkusan itu.

"Ooooohhh..bunga kamboja jepang ya.."
Bejo dengan kalem menjawab, " Iya. Aku tuh keliling nyarinya. Aku sengaja beli 2. Kata yang jual sih, dua pohon kamboja itu berjodoh."
Saya seneng dikasih bunga kamboja jepang sekaligus "capeeeee deeehhh" waktu denger dia bilang kamboja itu berjodoh.
Di titik ini, pandangan saya langsung berubah tentang Bejo. Di luar rambut gondrongnya, badan kurusnya, pendapat aneh dan nylenehnya (yang kadang bikin saya sakit ati karena pendapat saya bisa dia kalahkan), Bejo adalah cowok yang romantis.


(Jo..ini kamboja-nya kalo lagi berbunga..)

Minggu, 03 Februari 2008

Sukses

(Tulisan ini terinspirasi dari kolom Parodi di Harian Kompas edisi Minggu, 20 Januari 2008, dengan judul Sukses oleh Samuel Mulia)

Sukses (ala susu untuk balita) = bintang kelas, scientificaholic, cepat dan tanggap menyelesaikan masalah.

Beberapa bulan belakangan, saya suka mengamati iklan susu untuk balita dan anak-anak yang muncul di televise. Dalam tayangan iklan yang berdurasi rata-rata 10 detik itu, pesan inti yang ingin disampaikan adalah:

Jika anak Anda minum susu ini, maka kecerdasan anak Anda akan tiada duanya, kemampuan otaknya akan mencapai level platinum, ia akan menjadi anak kebanggaan orangtua, ia akan menjadi teman yang baik bagi teman-temannya.

Yah, kira-kira seperti itulah….

Dalam tayangan iklan, terkadang digambarkan bahwa sang anak yang mengkonsumsi susu tersebut, menjadi seorang juara. Entah juara kelas, juara perlombaan lari, atau juara merangkai robot. Hampir tidak ada iklan susu yang menggambarkan sang anak akan menjadi juara makan kerupuk atau juara panjat pinang. Padahal lomba makan kerupuk dan panjat pinang juga butuh strategi khusus yang dipikirkan dengan matang untuk memenangkannya.

Selain menjadi juara, efek samping yang dihasilkan karena mengkonsumsi susu yang diiklankan adalah sang anak dapat memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan pengalaman yang diingatnya. Anak dapat mengatasi kekurangan cat berwarna hijau dengan cara mencampur cat kuning dengan cat biru. Anak digambarkan juga dapat mengeluarkan bola kecil dari dalam gentong dengan car mengisi gentong tersebut dengan air.

Memang luar biasa kemampuan susu tersebut. Anak sekecil itu sudah bisa mengatasi masalahnya sendiri. Bagus juga sebenarnya, anak digambarkan berkembang dengan kreatif dan mandiri. Untung aja nggak digambarkan dengan meminum susu tersebut, anak dapat menyelamatkan rumah tangga orangtuanya yang diambang perceraian. Hebat nian kalau begitu.

Selain itu, dampak yang diiklankan dalam produk susu adalah anak akan berkembang menjadi seseorang yang scientificaholic dan gaul banget dengan globalisasi. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap dari sebuah iklan susu yang muncul di awal tahun 2008 ini. Disitu digambarkan bahwa di masa depan, anak tersebut bersekolah dengan para bule dan teman-temannya yang berasal dari belahan dunia lain. Dia juga sudah menggunakan teropong bintang dan dikelilingi oleh laboratorium super canggih. Ia berada dalam lingkungan sekolah yang elit, serba cling, futuristik, dan tentu saja “ wah “.

Nggak ada iklan susu yang memberi citra sang anak di masa depan akan sukses dengan menjadi pesinden seperti Peni Candra Rini. Peni, yang saat ini berusia 24 tahun juga mengambil jurusan karawitan sewaktu SMA dan perguruan tinggi. Karena menyanyikan langgam Jawa Kuno itulah, Peni dapat berkeliling ke berbagai negara.

Nggak ada juga, iklan susu yang memberi gambaran bahwa di masa depan sang anak akan sukses dengan jalan menjadi pelawak, seperti Tukul.

Apalagi mau digambarkan menjadi seorang Osamah bin Laden, yang hingga detik ini Paman Bush belum berhasil menangkapnya. Saya juga ragu, apakah FBI atau CIA pernah melihat sosok Osamah, meskipun cuma batang hidungnya. Hmmm… kalau begitu Osamah memang hebat. Cerdas bukan buatan.

Sukses = menjadi pegawai (baca: PNS)

Saya waktu itu tidak sengaja mendengar obrolan sekumpulan ibu dan bapak. Mereka sepertinya tengah asyik membicarakan seorang kenalan mereka.

“Bayangin, rumahnya aja ada 14 biji. Semua dikontra kin.”
“ Udah naik haji 2 kali juga. Malah sekarang dia berencana mau nambah rumah lagi.”
…….
“ Alah..tapi liat tuh anak-anaknya. Nggak ada satu-satu yang jadi pegawai..”

Mendengar kalimat terakhir, saya langsung miris. Sepertinya dengan menjadi pegawai, maka kesuksesan niscaya berada dalam genggaman dan masa depan yang indah rupawan gilang gemilang, sudah pasti di pelupuk mata.

Memang, di NTB dengan sektor swasta yang belum berkembang, menjadi seorang pegawai adalah jaminan masa depan. Sektor swasta masih dianggap oleh mayoritas masyarakat NTB sebagai tempat untuk berkarier yang tidak menjanjikan, tidak pasti, tidak jelas, kalau boleh dibilang kelas “ecek-ecek”.

Paradigma inilah yang membawa iklim tidak sehat bagi pola pikir sebagian besar orang tua di NTB tentang masa depan anaknya. Terkadang, mereka sampai rela menempuh jalan pintas demi sang anak menjadi pegawai. Mereka, para orangtua, cenderung belum siap melepas anaknya untuk menikah jika masih bekerja di sektor swasta.

Sampai di titik ini, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri: Sukses menurutmu apa Er?