Selasa, 07 Agustus 2012

ASI: Sebuah Perjuangan (part 4)


Part ini tidak hanya bercerita tentang ASI buat Danisa, tapi juga kejadian-kejadian lain yang terjadi pada waktu itu. Saya percaya kejadian-kejadian ini memberi hikmah pada saya dan keluarga.

Memasuki masa akhir cuti, saya tidak kunjung disiplin mengajari Danisa minum ASIP dengan media sendok, spuit, cup feeder, dan sejenisnya. Oh ya, pada waktu ini, jumlah hasil perahan saya semakin meningkat lho. Bener deh yang dibilang sama teori perahan itu. Hasil perahan ASI akan semakin meningkat jika memerah rutin dan disiplin dilakukan.

Balik lagi ke pemberian ASIP ke Danisa. Kenapa ya waktu itu saya nggak disiplin? Hmmm..mungkin karena perlengkapan tempur saya kurang. Saya nggak punya spuit, saya nggak tau cup feeder itu bentuknya seperti apa. Yang saya andalkan hanya sendok. Itupun nggak disiplin saya lakukan.
Ini loh yang namanya cup feeder (cr. asibayi.com)

Mbah Kakung dan mbah uti-nya Danisa, yah yang masih terpaku pada pola lama, hanya berpikiran bahwa media pemberian susu terbaik adalah dot. Saya pernah mengajukan argumentasi pemberian ASIP pada Danisa melalui media sendok. 
Hal tersebut kemudian coba dilakukan oleh ibu saya. Mungkin karena tidak biasa dan pemberian susu melalui sendok lebih ribet dibanding dot, ibu saya nggak sreg.  Meluncurlah komentar, “ Kenapa nggak pake dot aja sih? Kalo pake dot kan enak. Nggak repot. Jangan bikin repot yang njaga Danisa.”

Dalem hati saya nangis (lagi). Saya inget sebuah artikel dari link @aimi_asi. Artikel tersebut bercerita tentang perjuangan seorang ibu bekerja untuk memberikan ASIP melalui media selain dot. Semua dicoba. Sendok, cup feeder, spuit. Sama seperti saya, sang nenek berkomentar kurang lebih sama seperti ibu saya: Pake dot aja. Jangan bikin repot yang mengasuh anakmu.

Tapi, tidak sama seperti saya yang hanya bisa diam, ibu tersebut membalas: Iya emang nggak bikin repot yang mengasuh anak saya. Tapi justru saya yang bisa dibikin repot. Kalo anak saya bingung putting trus nggak mau nyusu gimana? Lagian, kenapa justru pengasuh yang lebih ‘dibela’ dibandingkan kepentingan anak saya? 

Well, it was #JLEB a lot, but I couldn’t say it out loud :(

Seperti yang saya katakan di post sebelumnya. Teori tidak semudah melakukannya. Pemberian ASIP tidak semudah yang dibayangkan. Danisa menangis nggak sabaran jika diberi ASIP melalui sendok. Jika sudah begitu, saya menyerah. Saya tidak mencobanya lagi di lain waktu. Tenaga dan pikiran saya sudah habis tersita untuk mengurus Danisa. Untuk mencoba dan mencoba melatih Danisa minum ASIP lewat sendok sepertinya udah nggak ada tenaga lagi. Jika ada waktu luang, saya lebih memilih untuk bersantai, melepaskan penat dan lelah mengurus Danisa.

Saya juga sebenarnya tidak terlalu mendalami teknik pemberian ASIP ini. Saya tidak terlalu jauh belajar apa itu spuit, apa itu cup feeder. Artikel dari AIMI tentang teknik pemberian ASIP saya baca hanya sekilas sambil lalu. Tenaga dan pikiran yang saat itu sudah over capacity, ditambah dengan tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar, membuat saya berpikiran: yah, kalo jatuhnya pake dot, ya udah lah nggak papa…

Jadi, ini namanya apa ya? Idealisme tinggi, keinginan selangit, tapi usaha nggak ada. Poor me :(

Selain memikirkan ASIP, yang harus saya pikirkan juga adalah pengasuh Danisa. Apalagi masa cuti sudah hampir habis. Tapi sepertinya saya tidak dijodohkan Allah untuk mendapatkan pengasuh. 

Waktu Danisa berusia 1 bulan, saya ditawari seorang pengasuh. Kalo dari gambaran yang diberikan sih kayaknya lumayan. Tapi, saya maunya ketemu langsung orangnya dulu. Wawancara dikit lah.

Waktu pun berlalu. Daun-daun pun kembali berguguran. *ini apa sih. Saya tidak kunjung menemui calon pengasuh tadi. Lagi-lagi karena sudah tersita banget dengan Danisa. Oh ya, FYI waktu itu di rumah nggak ada yang bantu-bantu. Semua pekerjaan kami lakukan sendiri. Danisa total diurus oleh saya. 

Lalu, siapa yang nyuci baju dan popok Danisa yang segunung tiap hari? Bapaknya lah yang melakukan. Tiap pagi sebelum berangkat kantor dan sore setelah tiba di rumah, kakak mencuci semua baju Danisa. Setelah kering, kakak yang mengangkatnya dari jemuran, langsung menyetrika, dan menata semuanya di box pakaian Danisa. Kalo inget ini, jadi terharu.. I love you so much sayang.. :* (pas gini ajaaa baru bilang ay lop yu.. :p)

Kembali ke perburuan pengasuh. Ketika masa cuti udah mepet mau selesai dan saya tiba-tiba inget harus dapet pengasuh, kabar buruk datang. Pengasuh yang dulu ditawarkan sudah bekerja di tempat lain.

Dang!!

Nggak bisa dibayangin nyeselnya kayak apa.

Beberapa waktu kemudian, saya kembali ditawari seorang pengasuh. Kalo dari penampilannya sih, kurang begitu meyakinkan. Tapi orangnya rajin. Dia juga mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Kalo Danisa ngamuk nggak bisa ditenangkan, begitu digendong olehnya, Danisa langsung diam. Magis bener
.
Tapi, belum sebulan bekerja, rumah kami kebobolan maling. Uang tunai dan 2 buah hp Bapak diambil. Seminggu setelah kejadian itu, pengasuh tadi mengajukan pengunduran diri. Kami tidak mau menuduh meskipun pikiran-pikiran buruk tentang hubungan kejadian kebobolan itu tidak bisa kami hilangkan.

Akibat lainnya? Tentu saja. Jadilah Danisa tidak punya pengasuh lagi.

Tidak ada komentar: