Senin, 26 Mei 2014

Cinta Itu Bernama Bulutangkis



Atlet kelahiran Tasikmalaya tahun 1971 itu tampak tak kuasa menahan tangis. Saat bendera Merah Putih mulai bergerak naik, sambil terisak, ia menyanyikan bait-bait lagu Indonesia Raya. Saat itulah tercipta sejarah. Untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil meraih medali emas dalam Olimpiade, pesta olahraga terbesar dunia. Susi Susanti, seorang atlet keturunan Tionghoa, yang mencatat tinta emas itu untuk Indonesia. Ia berhasil meraih medali emas bulutangkis tunggal putri dalam Olimpiade Barcelona 1992, setelah mengalahkan Bang Soo Hyun (Korea Selatan) di final.

Umur 21 tahun sudah dapet medali emas. Superb! (pic: getty images)

Sementara itu, nun jauh disana, beribu-ribu kilometer dari Barcelona, saya yang masih kelas 2 SD merinding menyaksikan tayangan upacara pengalungan medali Susi Susanti. Esoknya di majalah Dharma Wanita, anak kelas 2 SD itu kembali tak berkedip waktu membaca berita kesuksesan Susi Susanti mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade.

Kalau saya inget-inget lagi, apa coba yang ada di pikiran anak umur 8 tahun? Segitunya sampai bisa merasakan kebanggaan atlet Indonesia berhasil meraih emas Olimpiade?

Tahun 1994, turnamen beregu Thomas Uber Cup bergulir di Jakarta. Lewat TVRI, lagi-lagi saya menjadi saksi mata saat tim Uber Indonesia berhasil membungkam China di partai final. Saya menyaksikan ganda putri Lili Tampi/Finarsih duduk menangis tersedu-sedu di pinggir lapangan, di tengah gegap gempita sorak sorai penonton Senayan. Ujungnya, di partai penentuan, sang bocah ajaib Mia Audina bermain cemerlang.

Indonesia berhasil merebut Piala Uber. 

Setelah itu saya selalu setia menonton di televisi jika ada tayangan pertandingan bulutangkis.
Saya jatuh cinta pada bulutangkis.

Saya rela tidur terlambat hanya untuk menyaksikan Hariyanto Arbi, sang empunya smash 100 watt beradu dengan Paul Erik Hoyer Larsen. Saya bahkan sering merapal mantra-mantra kemenangan agar Susi Susanti bisa meraih poin saat Ye Zhaoying tengah mengamuk. Di rumah, saya yang paling ribut bersorak jika atlet Indonesia meraih juara.

Ibu saya tau kesukaan anaknya. Dibelikanlah saya sepasang raket dan beberapa buah shuttlecock. Tiap berangkat sekolah, raket itu saya bawa. Waktu jam istirahat, saya bermain bulutangkis dengan segelintir teman-teman yang juga membawa raket. Tak lama, teman-teman lain makin banyak yang ikut membawa raket ke sekolah. Ramailah lapangan sekolah dengan anak-anak SD yang bermain bulutangkis.

Waktu itu, jika tidak cepat mencari lahan kosong untuk bermain, maka lahan tersebut sudah diambil duluan oleh anak kelas lain. Oh iya, sebuah shuttlecock yang kinyis-kinyis masih mulus bulunya adalah sebuah benda yang sangat berharga bagi kami. Sampe itu bulu shuttlecock rontok semua masih kami pake main lho, heheheh...

Yang penting pantat shuttlecock-nya masih bisa enak dipukul dengan raket.

Tuh pada ngebelain buat raket dengan teknologi sendiri.. :D
Tahun 1996, saat perebutan Piala Thomas dan Uber kembali dihelat, teman-teman saya di sekolah turut merasakan euforia kejuaraan bulutangkis dunia. Saat itu kami sudah menyelesaikan Ebtanas. Pergi ke sekolah hanya untuk menyelesaikan persiapan menjelang kelulusan. Teman-teman berkomentar ramai, “Ayok cepetan pulang. Nanti kan ada pertandingan Piala Thomas. Mau liat Hariyanto Arbi dengan smash 100 watt.”
Mengulang prestasi 2 tahun sebelumnya, Indonesia kembali mengawinkan piala Thomas-Uber. Bocah-bocah SD ini pun semakin bangga pada atlet bulutangkis Indonesia.

Di tahun yang sama, Olimpiade juga digelar di Atlanta, Amerika Serikat. Tumpuan Indonesia untuk meraih kembali medali emas ada pada pundak ganda putra terkuat dunia, Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Sejak sore, media televisi (yang ada saat itu hanya TVRI dan RCTI) sudah sibuk woro-woro bahwa sebentar lagi akan terjadi pertandingan hidup mati antara Ricky/Rexy dengan musuh bebuyutan asal Malaysia, Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock.

Semua orang bersiap-siap menyaksikan tayangan bulutangkis yang dijamin akan berjalan sangat seru dan sengit. Betapa sebuah pertandingan yang begitu dianggap maha penting. Pertandingan yang dinilai membawa harga diri dan nama Indonesia di dunia.

Saya menyaksikan momen krusial saat shuttlecock dari Ricky/Rexy tidak dapat dikembalikan oleh pasangan Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock. Shuttlecock itu begitu saja jatuh tepat di tengah pasangan Malaysia. Cheah Soon Kit dan Yap Kim Hock sama-sama mengayun raket ke tengah hendak menjangkau bola, tapi bola sudah turun duluan ke lapangan mereka.

Rexy langsung menjatuhkan diri, terguling di lapangan.

Amat terharu melihat kedua atlet itu menangis di lapangan sambil berpelukan dengan sang pelatih, Christian Hadinata. 

Membayangkan momen ini dengan backsound lagu tema Olimpiade 1996, Reach (pic: getty images)
What a moment :’)

Sangat suka menonton bulutangkis, tentu membuat saya tertarik untuk bermain juga. Nggak di rumah nggak di sekolah saya selalu menyempatkan bermain bulutangkis. Melihat anaknya sangat tergila-gila, ibu sempat menawari saya untuk ikut berlatih di Gelanggang Pemuda Mataram. Tentu saya sangat mau. Tapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Bapak. Kata Bapak, saya sudah ikut banyak kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Nanti Ika capek, begitu kata Bapak. Saya cuma bisa gigit jari dan hanya memandang iri melihat anak-anak seusia saya berlatih bulutangkis di Gelanggang Pemuda.

Ya sudah lah. Saya hanya bisa menikmati bulutangkis dengan cara menonton atlet Indonesia bertanding.

Memasuki era 2000-an, bulutangkis Indonesia mengalami pasang surut. Sempat meraih Piala Thomas tahun 2002 dan meraih emas Olimpiade tahun 2000, 2004, dan 2008, setelah itu bulutangkis Indonesia lebih banyak surutnya. Tradisi emas di Olimpiade pun terhenti tahun 2012 saat jagoan Indonesia pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir gagal melewati babak semifinal setelah dijegal ganda China Xu Chen/Ma Jin dalam pertarungan 3 set.

Sektor putri tidak dapat berbicara banyak. Belum ada yang menyamai prestasi Susi Susanti. Bahkan belum ada yang menyamai perolehan medali perunggu Maria Kristin Yulianti pada Olimpiade 2008.

Surutnya prestasi bulutangkis Indonesia ini yang mungkin menyebabkan stasiun TV amat jarang menayangkan pertandingan bulutangkis. Buat apa ditayangkan toh atlet Indonesia suka kalah, begitu mungkin pikiran para pemilik stasiun tv. Masa-masa awal tahun 2000-an, cukup sulit buat saya untuk mengikuti perkembangan bulutangkis Indonesia. Jika diberitakan di media massa, itupun hanya sekilas.

Jaman SMA, saya justru  'lupa' akan kecintaan pada bulutangkis. Saya malah mulai tergila-gila pada Liga Italia dan menjagokan Juventus. Tiap malam Senin, sudah dipastikan saya nongkrong di depan layar RCTI menyaksikan pertandingan Liga Italia. Esok paginya saat masuk sekolah, teman-teman di sekolah sudah ramai berceloteh tentang laga Liga Italia semalam.

Beda banget sama jaman SD dulu yak.. :’)

Saat era Twitter mulai marak, bertemulah saya dengan akun-akun info bulutangkis. CLBK! Cinta lama bersemi kembali! Banyak banget akun bulutangkis Indonesia di Twitter. Mungkin Indonesia yang memliki akun bulutangkis terbanyak di dunia :D. Mulai dari akun info sampai akun fanbase atlet tertentu. Dari sini saya bisa memantau kembali perjuangan atlet bulutangkis Indonesia. Lewat admin yang ikhlas menyisihkan waktu, uang, dan tenaga untuk livescore, saya bisa tau sudah sampai mana perjalanan atlet Indonesia dalam sebuah turnamen.

Kalo tiba masanya turnamen bulutangkis, bisa dipastikan twit saya isinya bulutangkiiiiiiiiissssssssss melulu. Sampe kadang saya kehilangan follower gara-gara twit banjir bulutangkis itu, hehehehehe...

Saya juga rela menyisahkan uang untuk membayar TV berlangganan. Hanya lewat TV berlangganan saya bisa menyaksikan pertandingan bulutangkis terutama level Super Series dan Super Series Primer. Jika dulu saya hanya menyukai pertandingan yang ada atlet Indonesia-nya aja, sekarang saya menyukai semua atlet dari berbagai negara.
Sangat seru melihat kepiawaian alien-alien bulutangkis itu beradu shuttlecock. Lin Dan, Lee Chong Wei, Li Xuerui, Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi, Joachim Fischer/Christinna Pedersen, sampai yang usianya belasan tapi udah cetar membahana macem Ratchanok Intanon dan Kento Momota.

Stasiun televisi Indonesia nggak usah ditanya lah ya. Jangankan menayangkan pertandingan, isi berita olahraga aja jarang banget membahas bulutangkis. Yang ditayangkan yah tau sendiri lah. Hasil liga Spanyol, liga Inggris, hasil UEFA Cup, dan lain-lain. Oh ya, dan tentu saja menayangkan selalu berita tentang sepakbola Indonesia.

Pertandingan sepakbola yang melibatkan tim Indonesia? Nggak perlu ditanya. Jangkankan laga resmi FIFA (baru penyisihan Piala Dunia kawasan Asia) dan AFF (kelas Asia Tenggara). Laga yang ‘cuma’ persahabatan aja sampe ditayangin. *kabur sebelum disambit fans fanatik timnas.

Padahal kalo mau fair tentang prestasi kan……… *lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Ah sudah sudah….

Saya tidak membenci sepakbola Indonesia. Saya hanya iri pada perhatian media massa Indonesia yang lebih mengutamakan berita tentang sepakbola. Bagaimanapun, saya juga mencintai timnas sepakbola Indonesia dan ingin melihat mereka selalu menuai gelar juara. *salim satu-satu ke fans timnas

Meskipun prestasi bulutangkis Indonesia masih pasang surut, kini di bawah kepemimpinan Gita Wirjawan, PBSI mulai berbenah. Disana ada Rexy Mainaky, Susi Susanti, dan nama-nama lain yang pernah membawa bulutangkis Indonesia berjaya turut menjadi pengurus baru PBSI. Setidaknya PBSI mulai menuai hasil. Dua gelar juara dunia 2013 berhasil diraih setelah 6 tahun Indonesia puasa gelar. Tontowi/Liliyana berhasil 3 kali secara beruntun menjadi juara All England (2012, 2013, 2014), dan 2 gelar All England pada tahun 2014 (plus dari Muhammad Ahsan/Hendra Setiawan).

Liliyana: Hattrick broooooooo... (pic: Tempo)

Pecinta bulutangkis Indonesia pasti terus berharap atlet kebanggaannya bisa terus meraih prestasi tertinggi. Kami masih ingin melihat kebangkitan bulutangkis Indonesia, terutama di sektor putri. Bulutangkislovers rindu akan lahirnya generasi penerus Susi Susanti dan Mia Audina.

Saya dan semua pecinta bulutangkis di tanah air pasti akan selalu mendukung atlet bulutangkis Indonesia. Saya akan selalu menunggu momen-momen merinding menyaksikan perjuangan atlet bulutangkis Indonesia untuk berada di podium tertinggi.

If I could reach, higher
Just for one moment touch the sky
From that one moment in my life
I´m gonna be stronger
Know that I´ve tried my very best
I´d put my spirit to the test  
(Reach ~ Gloria Estefan)

IN-DO-NE-SIA!!


*PS: Posting ini saya tulis di tengah rasa kecewa karena Tim Thomas Indonesia gagal mencapai target juara setelah ditekuk Malaysia 3-0 di babak semifinal. Faktor mental dan semangat juang saat tim tengah tertinggal ditengarai menjadi penyebabnya. Still, we always support you, team :')