Selasa, 26 Agustus 2014

A Complete Dedication

Suatu siang, entah kesambet apa saya nyari-nyari masalah sama petugas keamanan.

Jadi ceritanya begini.

Saya datang ke sebuah lembaga keuangan milik pemerintah di Mataram. Begitu ingin keluar, motor saya dihentikan oleh petugas keamanan setempat. Beliau meminta karcis saat masuk tadi. Saya bingung, karena saya tidak menemui siapa-siapa saat masuk gerbang tadi.

"Ya sudah. Kalau begitu, mbak jalan lewat bawah terus minta karcis di pos depan sana.."

Saya ingat waktu saya parkir tadi. Ada seorang bapak yang berjalan ke pos depan. Saya sempat mikir: tuh bapak ngapain jalan ke situ?

Diminta seperti itu, saya sedikit kesal. Saya merasa tidak melakukan kesalahan tapi disuruh untuk mengambil karcis kembali.

Apakah pos depan itu jauh? Relatif. Saya termasuk orang yang senang jalan kaki. Tapi untuk alasan seperti ini, saya tidak setuju. Bukan salah saya kan.

Tiba di pos depan, saya bertanya sama petugasnya:

"Pak, kok tadi waktu masuk saya nggak dikasih karcis?"

"Tadi kita sudah manggil-manggil mbak, tapi mbaknya nggak denger.."

Saya mengingat-ingat proses di gerbang tadi. Tidak ada halangan sama sekali jadi saya langsung masuk. Kalau saya tidak mendengar saat dipanggil, ya jelas saja. Saya pakai helm full face dan saya yakin petugas itu memanggil saya dari dalam posnya, pos yang hampir seluruh bagian depannya tertutup kaca berwarna hitam.

Mana saya bisa ngeh kalo ada orang disitu? Apalagi manggil saya?

Saya sampaikan argumen bahwa saya tidak mendengar saat petugas memanggil saya.

"Loh mbak harusnya tahu peraturan kalo ada portal harus berhenti dulu."

Oh ok, saya baru ngeh kalo ada portal di pos masuk. Tapi waktu masuk tadi, itu portal nggak menghalangi saya buat masuk kok.

"Iya mbak, soalnya portal itu langsung membuka waktu ada yang hendak lewat."

Oooooo.... Jadi salah saya kalo saya tetap masuk?

Lebih keren portal Gramedia keleus.

Ya udah. Saya ambil karcis dan menuju pos belakang.

Sambil menyerahkan karcis, saya berkata pada petugas keamanan di pos belakang:

Saya (Sy): "Kalo bisa sistem parkirnya diperbaiki lagi Pak.."

Petugas keamanan langsung mengacungkan karcis saya sambil bertanya:

Petugas (Pt): "Mbak pikir mbak ini siapa kok nyuruh-nyuruh kantor ini memperbaiki sistem parkir?"

(Oooooo...jadi bapak pikir sistem di kantor bapak sudah sempurna?)

Sombong sekali.

Sy: "Lho, saya cuma ngasih saran dan masukan Pak. Saya tadi melihat ada juga yang seperti saya."

Pt: "Sistem ini dijalankan sudah lama, nggak cuma hari ini saja." (sambil tetap mengacungkan karcis saya)

(Memangnya saya tiap hari kesini, sampe jadi (mestinya) tau kalo sistem ini sudah lama diterapkan?)

Sy: "Maksud saya, kalo bisa diperbaiki sistemnya Pak. Tadi saya nggak lihat ada portal, nggak denger kalo ada petugas yang memanggil saya. Kenapa nggak gini aja, petugas ada yang standby di depan pos. Jadi kalo ada yang lewat bisa dihentikan."

Pt: "Mbak ini kan pegawai. Seharusnya tau sistem portal.."

(Saya memakai pakaian dinas harian waktu itu)
 
Sy: "Saya nggak lihat ada portal. Kata petugas di depan, portalnya langsung ngangkat kalo ada yang lewat.."

Seorang petugas berseragan polisi menghampiri perdebatan kami.

Petugas polisi (Ptp): "Masalahnya mbak ini pegawai, jadi seharusnya paham. Lain halnya kalo mbak itu petani.."

(Oooooo... Jadi petani itu dimaklumi kalo lugu nggak tau apa-apa.)

Melihat saya yang nggak mau mengalah, kedua petugas tadi memperhatikan emblem yang menempel di PDH saya:

Pt: "Dinas dimana mbak? Nanti saya laporkan."

(Ooooooo... Beraninya main lapor?)

Pt (melihat emblem lagi): "Nanti saya bisa laporkan mbak ke (sambil menyebut nama pejabat di Mataram). Gampang itu."

(Oooooooo... Beraninya main ngadu?)

Karena sudah membawa-bawa instansi, saya malas melanjutkan.

Sy: "Ya sudah kalo gitu Pak. Saya nggak mau perpanjang."

Ptp: "Loh, kalo mau kita perpanjang masalahnya mbak."

Ya ampun.

Sy: "Ya udah ya Pak. Saya minta maaf." (sambil ngacir)

-------------------------------------------------------------------------

Saya (juga) adalah seorang pelayan publik. Meski saya tidak bekerja melayani publik di depan meja, saya juga harus menerapkan sopan santun saat saya bekerja melayani publik di luar gedung kantor. Itu kejadian yang saya alami adalah sesama birokrat, sesama pelayan publik.

Sesama birokrat aja mereka arogan seperti itu. Apalagi kalo yang protes (saya kasih saran ya tadi..) itu masyarakat biasa.

Memang melayani publik itu bukan pekerjaan mudah. Pelayan publik akan menghadapi manusia, bukan hanya sekedar lembaran kertas. Pelayan publik melayani manusia dengan segala karakteristiknya.

Yang pasif, yang cerewet nggak ketulungan, yang jorok, yang bau.

Public service must be more than doing a job efficiently and honestly. It must be a complete dedication to the people and to the nation. ~ Margaret C. Smith 

Keluhan masyarakat tentang oknum pelayan masyarakat bukan cerita baru lagi ya. Waktu saya cari di google tentang pict public servant, keyword yang keluar gini:

Public servant free to be impolite.

:(


Sederhana saja. Saya membayangkan diri saya menjadi masyarakat biasa. Bukan hal menyenangkan kalo kita mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya dari seorang yang ditugaskan menjadi pelayan publik.

Mereka digaji untuk itu kan?

Keluhan yang biasa saya dengar dari teman sesama pelayan publik: Ya abis masyarakatnya kayak gitu sih....

Hellloowwwww.... Sori ya.

Kalo Anda mengeluhkan masyarakat, siapa suruh Anda melamar pekerjaan menjadi pelayan masyarakat?










Selasa, 05 Agustus 2014

The People Who Stand By You

Lebaran tahun ini cukup berbeda. Kali ini tidak ada Mbah Uti, mbah kandung terakhir yang saya miliki. Mbah Uti sudah menghadap ke pangkuan Sang Pemilik Hidup bulan Maret lalu. Setelah Mbah Kakung (mbah dari Bapak) meninggal dunia pada tahun 1999, kemudian disusul Mbah Uti (ibu dari Bapak) pada tahun 2006, kemudian Mbah Anang (mbah dari Ibu) tahun 2007, dan terakhir Mbah Uti (mbah dari Ibu).

Jika orangtua sudah tidak ada, maka akan lebih sulit untuk mengumpulkan para saudara dan anak cucu.