Menurut perkiraan bidan dan dokter (seperti yang tertulis di buku kontrol), saya akan melahirkan pada tanggal 17 Januari 2011. Menurut teman-teman, keluarga, handai taulan, dan tetangga, saya akan melahirkan lebih cepat dari tanggal perkiraan itu. Kenapa demikian? Jawaban mereka: biasa kalo anaknya perempuan lahirnya lebih cepet dari perkiraan. Oh gitu.. Okeee...
Saya semakin giat berjalan kaki. Kalo lagi nunggu jemputan suami di Puskesmas, saya akan berjalan-jalan. Mengelilingi halaman, masuk ke dalam gedung Puskesmas, keluar lagi, gituuuu terus..sampai suami datang menjemput. Di rumah juga begitu, tiap sore dan pagi (kalo nggak bangun telat, hehe..) saya akan berjalan kaki mengelilingi lingkungan di sekitar rumah.
Memang efek jalan kaki ini sangat terasa. Bila perjalanan saya sudah cukup jauh, perut bagian bawah terasa lebih kencang, seperti diperas. Saya nikmati saja sensasi itu. Lagipula, nasehat lain yang saya terima menjelang waktu melahirkan adalah meningkatkan kadar ambang batas terhadap rasa sakit. Maksudnya, jangan manja kalo ada yang kerasa sakit. Proses melahirkan itu adalah dewanya rasa sakit. Okeee...
Tanggal 7 Januari, suami berangkat ke Ujungpandang, menunaikan tugas kantor. Hanya 3 hari saja. Saya tidak terlalu khawatir ditinggal suami menjelang waktu melahirkan. Selain karena memang aslinya tidak khawatir, saya juga masih tinggal dengan orang tua saya. Bapak saya juga 'diuntungkan' dengan dinas keluar kota suami ini. Bapak ngeles berangkat dinas ke Jakarta. Alasannya: Anak saya mau melahirkan. Suaminya sedang dinas keluar kota. Ngeles tingkat internasional.
Saya sempat was-was kenapa saya belum juga melahirkan. Padahal, tetangga yang hamilnya seangkatan sama saya udah pada melahirkan. Saya takut jika sampai batas waktunya, anak saya ini tidak menunjukkan tanda mau melihat dunia. Jujur, saya tidak mau mengambil opsi operasi caesar. Tapi, kata-kata pak Dewa, kepala seksi saya di Dikes, menenangkan saya:
Tiap anak ada waktunya sendiri untuk lahir ke dunia, karena itu termasuk rezekinya. Jangan khawatir, tunggu saja...Baiklah, saya menunggu. Toh, kalaupun pilihan operasi caesar harus saya ambil, yang terpenting saat ini adalah saya dan calon bayi yang saya kandung dapat melalui proses kelahiran itu dengan sehat dan selamat.
Tanggal 9 Januari adalah jadwal kepulangan suami dari Ujungpandang. Menurut jadwal, suami akan tiba di bandara Selaparang pukul 19.00. Tapi karena pakai pesawat singa yang terkenal dengan jam molornya, suami tiba pukul 22.00. Entah kenapa, sebelum tidur, saya sibuk menyiapkan pakaian dan perlengkapan untuk melahirkan. Saya masukkan semuanya ke dalam koper. Padahal, berminggu-minggu sebelumnya, ibu sudah mengingatkan saya untuk menyiapkan semua perlengkapan dalam koper, tapi saya selalu bilang nanti saja. Malam itu, mendapat 'kekuatan' niat dari mana saya nggak paham, saya siapkan semuanya dalam koper.
Jam 02.00 dini hari, saat tidur pulas, saya merasakan ada cairan yang keluar dari bagian bawah. Cairan dalam jumlah banyak yang tidak dapat saya tahan. Mengingat tanda-tanda kelahiran, saya langsung mengenali itu adalah cairan ketuban. Suami yang tengah tertidur langsung ikut panik. Tapi, saya tidak merasakan mulas sama sekali.
Saya kemudian membangunkan ibu dan Esthi, memberitahukan kondisi saya. Suami memutuskan untuk membawa saya ke Exonero. Sampai di sana, saya langsung diperiksa bidan. Bidannya terlihat mengantuk karena ia dibangunkan saat saya datang. Meski mengantuk, ia tetap memeriksa saya dengan sepenuh hati. Setelah diperiksa, saya dinyatakan baru 'bukaan 1'.
Setelah itu, dokter Dahlia, anak dokter Soes (dokter tempat saya memeriksakan kehamilan) datang. Ia menanyakan saya merasakan mulas atau tidak. Saya jawab tidak. Saya menjalani pemeriksaan denyut jantung bayi. Nama pemeriksaan ini apa ya? Lupa.. Yang saya ingat, ada kertas panjang menjulur-julur keluar dari mesin. Kertas itu berisi grafik panjang.
Tak lama, datang bidan (atau perawat) lain. Saya diminta untuk minum pil. Kalau melihat bentuknya, pil itu adalah pecahan. Saya diminta untuk meminumnya lewat bawah lidah (sublingual). Saya langsung sadar, saya diinduksi karena saya tidak mengalami mulas setelah pecah ketuban.
Sekitar pukul 04.00, saya masuk kamar perawatan. Sampai pukul 06.00, saya beberapa kali mengalami keluar air ketuban. Pukul 07.00, bidan datang memeriksa kondisi saya. Ia bertanya apakah saya merasakan seperti hari-hari awal menstruasi. Saya jawab ya. Ia kembali bertanya, frekuensi rasa itu datang. Saya jawab sekitar tiap 15 menit. Kemudian ia pergi.
Pukul 10.00, bidan yang pertama kali memeriksa saya datang. Melihat ada gelas berisi rumput fatimah, bidan itu menyarankan saya untuk tidak meminumnya. Cairan rumput fatimah dapat mengundang kontraksi. Padahal saya sudah diberi pil induksi. Ditakutkan kontraksi yang saya alami nanti akan semakin hebat. Rumput fatimah itu memang sengaja dibawa ibu, katanya agar persalinan saya lancar. Saya akhirnya menuruti permintaan bidan.
Menjelang tengah hari, rasa sakit di bagian bawah perut saya semakin menjadi. Tapi, saya masih bisa ngobrol dan tertawa. Pukul 14.00, saya dibawa masuk ke ruang bersalin. Suami dan ibu turut mendampingi saya. Benar, melahirkan adalah dewanya rasa sakit. Sampai waktu ashar, saya berteriak-teriak kesakitan. Sakiiiiiiitttt sekali. Seperti ada gelombang besar rasa sakit yang ingin menyeruak keluar dari bagian bawah perut saya.
Saya mengingat-ingat untuk menarik dan menghembuskan napas dengan teratur tiap rasa sakit itu datang. Tapi tidak bisa. Teori memang selalu terlihat mudah. Sementara saya kesakitan, suami dan ibu malah sibuk dengan hp masing-masing. Mereka mengabarkan saya yang tengah berjuang untuk melahirkan pada keluarga.
Tiap gelombang besar rasa sakit itu reda, suami dengan cepat memberi saya susu, air, madu, roti, apapun.. Tujuannya agar saya punya tenaga untuk proses melahirkan yang masih panjang ini. Sampai pukul 16.00 saya dinyatakan baru sampai bukaan 6. Ya Allah..lama sekali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar