Jumat, 15 November 2013

..................... :'(

Sesuatu akan menjadi sangat berarti ketika ia telah pergi...

Saya hanya bisa terdiam membaca sms dari ibu subuh tadi. Mbah Mul meninggal dunia.

Mbah Mul yang 'ngopeni' waktu saya kuliah di Surabaya dulu. Mbah Mul yang selalu mengantar dan menjemput saya di bandara Juanda. Mbah Mul selalu saya repotkan. Menginap di rumah sakit saat saya diopname, sibuk bolak-balik Surabaya-Juanda karena keteledoran saya lupa membawa tiket, ikut menemani saya pulang ke Lombok waktu pake bis.

Mbah Mul yang menjadi saksi waktu saya menikah.

Setelah itu, saya tenggelam dalam arus kehidupan sendiri.  Sedangkan mbah Mul selalu rajin mengirimi saya sms saat menjelang puasa dan hari raya. Sedihnya, saya lupa kapan terakhir kali saya menelepon mbah Mul. Sekedar bertanya kabarnya. Sekedar ngobrol mengenai kondisi terakhir kesehatannya.

Saya lupa sampai sms dari ibu saya baca subuh tadi..

:'(

Mbah Mul saat menjadi saksi waktu saya menikah :')


Mbah, hanya doa yang bisa Ika panjatkan untuk Mbah....... Maafkan Ika ya Mbah.....

*nangis

Jumat, 08 November 2013

Ya terserah sih....

Kemarin saya membaca artikel di The Urban Mama. Artikel lama yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu yang berusaha memberi ASI eksklusif untuk anaknya. Dimulai dari bayinya yang tidak mau menyusu pada putingnya yang datar, bertemu dengan konselor laktasi yang kurang menyenangkan, hingga akhirnya ia memberi susu formula saat anaknya berusia 7 bulan. Ibu itu mengeluhkan tentang pendapat orang-orang di sekitar yang seakan menyalahkannya mengapa ia memberi susu formula. Orang-orang yang ia sebut sebagai 'nursing nazis'.

Serem ya istilahnya....

Artikel tersebut banyak menuai komentar yang mendukung penulisnya. Yang membuat saya sedih adalah ketika membaca salah satu komentar dari artikel tersebut. Ada yang mengutarakan komentar seperti ini: "......toh susu formula kan bukan racun...."

:'(

Menurut pandangan saya, komentar tersebut seakan memberi 'ruang' untuk memberikan susu formula pada anak.

Iya sih susu formula bukan racun yang bikin kita tewas dalam waktu singkat. Tapi dengan mengetahui banyak masalah yang timbul di kemudian hari akibat pemberian susu formula (disadari atau nggak), saya nggak tega kalo melihat ada anak yang dikasih susu formula.

Danisa pernah merasakan susu formula. Saat itu saya putus asa dengan hasil ASIP yang makin seret saat Danisa berusia 10 bulan (ini salah saya yang tidak rajin merah ASI setelah ia berusia 6 bulan). Pertambahan berat badannya juga cenderung melambat. Ditambah waktu itu  ia ogah-ogahan makan. Yang paling bikin sedih, semua orang mengatakan Danisa kurus.

Padahal kalo sekarang saya melihat foto-foto Danisa pada waktu itu, badannya oke-oke aja kok. Di grafik KMS memang plot berat badannya berada pada grafik hijau muda. Emang nggak gemuk sih, nggak chubby yang bikin gemes kayak bayi di iklan-iklan.

Semua hal tersebut seakan memberi jalan bagi mbah kakung yang sejak awal kelahiran Danisa selalu meminta saya untuk memberi Danisa susu formula. Saya sedih. Saya tidak bisa mempertahankan keinginan saya untuk tidak memberi Danisa susu formula.

Alhamdulillah... Keinginan saya itu diberi 'jalan keluar' oleh Allah swt. Setelah hampir 2 bulan mengkonsumsi susu formula, Danisa mencret!  Karena sejak lahir Danisa jarang sakit, peristiwa mencret ini cukup membuat heboh di rumah. Yess!! Ini jadi alasan saya untuk menghindarkan pemberian susu formula sejauh-jauhnya dari Danisa.

Mbah kakungnya pun jadi berhenti menyuruh ngasi sufor. Kapok ngeliat cucu pertama kesayangannya itu mencret :))

Selanjutnya, alhamdulillah saya dipertemukan dengan akun twitter Erikar Lebang. Dari situ saya tau bahwa susu apapun selain ASI tidak diperuntukkan untuk tubuh manusia. Jadi semakin kuat buat menangkis yang nanya-nanya kenapa Danisa nggak dikasi susu formula.

Sekarang, melihat komentar "...toh susu formula bukan racun....." beneran bikin saya nyesek. Yah..mungkin ia belum tahu ya..

Dan kalo memang tetap ingin memberi susu formula, ya terserah sih.... :)

Kamis, 07 November 2013

Curhat Petugas Promkes: Bukan Konselor Tapi 'Nekad' Bikin Kelas Menyusui



Saya bukan konselor laktasi. Saya bahkan tidak pernah mendapat pelatihan apapun mengenai seluk beluk ASI dan menyusui. Saya hanyalah petugas promosi kesehatan di puskesmas yang sangat cemas melihat tren penggunaan susu formula di masyarakat. Pengetahuan saya tentang ASI dan menyusui hanya saya dapat dari pengalaman saya menyusui Danisa hingga kini usianya 2 tahun 10 bulan. Selama 2 tahun 10 bulan, saya belajar tentang ASI dan menyusui. Terhitung telat menurut saya. Seharusnya, usia saya belajar jauh lebih tua dari usia Danisa. Ya, saya baru mempelajari ASI dan menyusui secara lebih dalam saat Danisa sudah lahir.

Perasaan ‘saya bukan konselor laktasi, saya tidak pernah mendapat pelatihan mengenai ASI dan menyusui’ inilah yang menjadi ganjalan hati saya saat saya akan menjalankan program kelas edukASI di puskesmas tempat saya bekerja. Perasaan takut tidak mampu membawakan materi dengan baik terus saya pikirkan.

Kelas edukASI ini adalah usulan kegiatan yang saya ajukan di puskesmas. Sebenarnya, saya ingin di Mataram ada kelas edukASI yang diprakarsai oleh AIMI. Sedih rasanya melihat kota-kota lain sudah punya kegiatan kelas edukASI, tapi Mataram yang ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat ini belum punya. Kalah sama Tegal dan Cilacap :(

Namun, untuk mengahdirkan kelas edukASI dengan kurikulum AIMI, tentu harus ada kelompok AIMI cabang Mataram terlebih dahulu. Bukan pesimis, tapi saya rasa untuk memulai membentuk AIMI cabang Mataram rasanya butuh waktu yang agak lama. Kebetulan, Desa Siaga kelurahan Rembiga (Desa Siaga yang sering disebut-sebut paling top se-NTB) ingin memiliki program unggulan lain selain program donor darah. KEBETULAN lagi, kelurahan Rembiga adalah kelurahan di wilayah Puskesmas yang cakupan ASI eksklusifnya paling rendah. KEBETULAN LAGI, ada dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dapat membiayai kegiatan inovasi di masyarakat. Maka, saya ajukan usulan kegiatan kelas edukASI untuk wilayah kelurahan Rembiga.

Tantangan pertama yang muncul adalah menjelaskan maksud dan tujuan program ini karena sudah ada kelas ibu hamil - yang tentu di dalamnya sudah ada materi mengenai ASI dan menyusui. Argumentasi saya adalah kalo kelas ibu hamil, pesertanya adalah ibu hamil saja. Nah, kalo kelas edukASI ini pesertanya tidak hanya ibu hamil. Bisa suami, nenek, tetangga sekitar, ibu-ibu lain, atau para remaja. Kenapa? Karena salah satu faktor keberhasilan menyusui adalah adanya kelompok pendukung (support group) untuk ibu menyusui. Jadi, pengetahuan dan pemahaman tentang ASI dan menyusui tidak hanya dimiliki oleh ibu hamil, tapi dimiliki pula olah orang-orang disekitar ibu hamil.

Tantangan kedua adalah ego program. Saya sadar betul, masalah ASI, ASI eksklusif, menyusui, adalah bukan ranah program promosi kesehatan. Ini adalah ranah program KIA dan program gizi. Saat merencanakan dan menyusun anggaran untuk kelas edukASI ini, sebelumnya saya berdiskusi dengan teman-teman di kedua program tadi. Saya sempat merasa kesal. Kelas edukASI ini dianggap tidak perlu karena materinya sudah diberikan pada kelas ibu hamil, dianggap hanya mengulang-ulang. 

Tantangan ketiga adalah perasaan saya tadi di atas. Jujur saya minder dan takut. Bagaimana jika nanti ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab? Bagaimana jika saya tidak mampu menguasai materi? Bagaimana jika…….

Tapi, kegelisahan saya melihat di sekitar banyak bayi yang tidak mendapatkan haknya akan asupan nutrisi terbaik -yaitu air susu ibunya sendiri- sudah tidak bisa dibendung lagi. Semoga Allah swt memberi kelapangan dan kemudahan langkah, amiiiiinnn..

Salam ASI!