Minggu, 30 November 2014

The Hardest Arithmetic



Saat sedang iseng berselancar di Facebook, saya tertarik membaca status seorang teman. Status teman saya itu intinya menghitung pendapatan yang ia dapatkan sebagai seorang PNS tidak sebanding dengan biaya yang harus  dikeluarkan untuk keperluan hidup sehari-hari. Dalam status tersebut,  teman saya menyebut pendapatannya sekitar 3 juta rupiah. Oh iya, teman saya ini seorang pria dan belum menikah.

Jadi lakik kok ya rempong toh ya? :D :D

Saya sendiri ribet membaca status temen saya itu. Penuh dengan hitung-hitungan jenis biaya hidup sehari-hari. Maklum, pihak sini kan udah berumah tangga. Jadi udah lumayan mahir tiap hari puter otak belanja buat kebutuhan rumah. 

Saya kemudian berkaca pada diri sendiri. Sebagai sepasang suami istri PNS yang sebagian gajinya sudah dipotong bank, saya dan suami merasa gaji kami tak cukup membiayai hidup hingga akhir bulan. Tanggal 15 itu gaji sudah tinggal tersisa 10% aja. 

Kalo dipikir pake hitungan logika: Lha, 15 hari lagi keluarga saya makan pake apa? Kembang depan rumah?

Saya dan suami sering ngobrol, bercerita tentang kondisi keuangan keluarga kami. Mau ini nggak cukup, pengen itu nggak ada duit. Tapi ujung-ujungnya, kami berdua selalu jadi bersyukur dengan apa yang sudah kami miliki sekarang. Lupa deh sama keluhan-keluhan tadi :)

Bukan bermaksud sombong. Meski gaji habis di tengah bulan, meski kami nyaris nggak punya tabungan, setidaknya kami punya rumah yang sehat dan nyaman. Upsss..belum sepenuhnya ‘punya’ sih. Itu rumah masih mengangsur di bank untuk 13 tahun ke depan :D. 

Kalo ngomong masalah rumah ini, saya sampai sekarang nggak bisa berpikir: darimana saya dan suami punya keberanian untuk memperjuangkan rumah ini?
Ya itu tadi, kalo dihitung-hiitung dengan logika, gaji kami nggak bakal cukup untuk memperbaiki rumah sampai jadi rumah yang sehat dan nyaman untuk  ditinggali. Standarnya sehat dan nyaman aja yaaaa.. Nggak pake mewah.. :D :D :D

Alhamdulillah orangtua kami amat membantu. Jadi jangan dikira abis nikah kita bakal jalanin hidup mandiri sepenuhnya lepas dari orangtua. Itu buktinya Bapak, Ibu, dan Ibu mertua membantu keuangan saya dan suami untuk memperbaiki rumah
.
Selanjutnya, alhamdulillah kami punya kendaraan yang nyaman.Nyaman untuk standar kami lhooooo.. Seenggaknya bisa melindungi dari hujan dan bisa jalan dengan lancar.

Alhamdulillah saya punya bibik yang menjaga Danisa dengan baik saat saya meninggalkan rumah untuk bekerja dan alhamdulillah saya masih bisa membayar gaji bibik tepat waktu.
Alhamdulillah saya bisa melunasi tagihan air, tv, dan listrik setiap bulan.
Alhamdulillah masih bisa menyisihkan gaji untuk zakat.
Alhamdulillah bisa mengajak Danisa dan bibik jalan-jalan melihat keindahan pantai di Lombok. Kalo nggak ya ajak Danisa mancing ikan plastik di Taman Udayana pun udah bikin Danisa melonjak gembira.
Alhamdulillah kami masih bisa wisata kuliner di tempat makan favorit kami, kalo nggak seminggu sekali ya sebulan sekali lah :D :D :D

Pada akhir bulan, apakah keluarga saya hidup sekarat atau jadi penderita busung lapar karena nggak makan?

Alhamdulillah… Kami sekeluarga tetap sehat dan menjalani aktivitas seperti biasa.

Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?


Ah, teman saya itu sepertinya belum kenal supir di kantor saya. Pak Amir namanya. Sebagai seorang pegawai kontrak, pak Amir tidak punya penghasilan dengan standar sebagaimana seorang PNS. Penghasilan pak Amir dari kantor cuma 400 ribu rupiah. Kesibukan pak Amir sebagai satu-satunya supir di kantor melebihi kesibukan seorang PNS. Mengantar tim posyandu, mengantar petugas yang mau penyuluhan ke sekolah, merujuk pasien, sampai mengantar bos yang pengen nyari printer buat kantor.

Saya yakin. jauh di dalam lubuk hati pak Amir, ia pasti ingin punya status Pegawai Negeri Sipil.

Saya sempat ngobrol dengan pak Amir, menanyakan kehidupannya sehari-hari. Saya kaget begitu tau anak pak Amir jumlahnya 4 orang dan yang paling sulung saat ini hampir lulus Madrasah Aliyah. Istri pak Amir kerja apa? “Istri saya ya ibu rumah tangga biasa..”, pak Amir menjawab dengan santai seperti di pantai.

Helllllloooooo… Itu gaji 400 ribu gimana bisa mau ngidupin 4 orang anak?????

Lalu, apakah anak-anak pak Amir menderita gizi buruk? Ternyata: Nggak tuh.

Pak Amir? Apakah tetap ia lantas menjadi kusut kurus kering serta selalu bermuram durja?

Nggak. Pak Amir kami kenal sebagai pribadi yang rajin, disiplin, ramah, dan suka bercanda :)

Mungkin begitu lah yang namanya rezeki. Tidak bisa kita menghitungnya jika memakai logika matematika 1 + 1 = 2. 

“The hardest arithmetic to master is that which enables us to count our blessings.” ― Eric Hoffer

Tapi bukan berarti lalu kita ongkang-ongkang kaki dan punya gaya hidup yang semena-mena dengan berkilah “ah entar ada rezeki yang dateng..”. No pain no gain lah ya. Kalo pengen punya hidup dengan standar yang lebih tinggi, ya silahkan berusaha lebih keras untuk mendapatkan uang lebih banyak.

"Gaji berapa pun cukup, asal gaya hidup lo nggak ketinggian." ~ ngutip dari FB

Kemudian, setelah meribetkan diri sendiri dengan status teman itu, saya membaca komen-komen yang tertera di bawahnya. Ternyata teman saya itu sedang mengkritik himbauan hidup sederhana untuk jajaran kementerian. 

Ealah… 

Udah aja saya jadi berpikir kemana-mana sampe jadi tulisan sepanjang ini :p