Kamis, 02 Agustus 2012

ASI: Sebuah Perjuangan (part 3)

Berhubung World Breastfeeding Week (1-8 Agustus), saya menulis lagi tentang perjalanan dan perjuangan saya memberi ASI pada Danisa.

Saya bertahan. Saya semakin memperkeras isi kepala saya yang aslinya memang sudah keras (keras kepala maksudnya). Saya teguh memperjuangkan ASI saja untuk Danisa. Keras kepala dan keteguhan saya pelan-pelan membuat orang rumah diam saja, tidak bertanya dan berkomentar macam-macam. Tapi, saya seperti merasa asing. Saya merasakan mbah kakung dan mbah uti-nya Danisa tetap tidak percaya ASI. 

Saya dan adik-adik saya adalah hasil susu formula. Tidak ada diantara kami yang sukses sebagai sarjana ASI Eksklusif. Apalagi saya. Waktu saya lahir dulu, berat lahir saya 2700 gr. Saya lahir saat usia kandungan ibu baru berusia 7 bulan. Karena lahir lebih dini, saya diputuskan untuk diberi susu formula. Lactogen merknya.

Saya selalu diceritakan oleh Bapak. Bertahun-tahun setelah menikah, Bapak nggak bisa membuat rumah sendiri. Gaji Bapak habis tersedot untuk membeli susu anak-anaknya. Dulu saya menganggap itu adalah pengorbanan orangtua untuk saya dan adik-adik. Tapi setelah belajar tentang ASI, saya berpikiran (tepatnya mencibir): Siapa suruh pake susu formula. Tapi sekarang saya justru kasihan. Bapak Ibu dulu pasti nggak punya akses informasi yang memadai tentang ASI. Bapak Ibu dulu pasti dicekoki oleh para tenaga kesehatan tentang susu formula. Pada waktu itu, antara 1980-1990, saya rasa promosi gencar akan ASI tidak seramai sekarang. Iming-iming 'kehebatan' susu formula juga saya rasa masih keras didengungkan.

Kadang jika perang urat syaraf terjadi diantara saya dan Bapak tentang ASI untuk Danisa, puncak dari komentar pedas Bapak adalah: “Bapak ini juga orangtua, pernah punya bayi, dulu juga mengurus bayi.”
Maksudnya, saya yang baru kemaren sore jadi ibu baru kok se-begitu keras kepala  menentang pemberian susu formula untuk Danisa. Padahal kami anak-anak Bapak dulu juga pake susu formula. Toh kami sekarang masih hidup, sehat-sehat semua pula.

Tapi Bapak mungkin lupa dan tidak menyadari. Adik saya Adi, mencret-mencret waktu usianya belum genap 1 tahun. Saya ingat Ibu bergumam, “.....mungkin karena susunya (Dancow) ada kandungan madunya ya, makanya mencret...”. Saya perhatikan, kondisi saya dan adik-adik ketika kecil juga mudah sakit. Hal ini terbawa hingga kami menginjak remaja. Kondisi yang paling terlihat hingga saat ini adalah obesitas. Ya, 2 adik saya terlampau gemuk. Boleh lah dikatakan jika pola makan mereka sampai saat ini tidak tepat. Tapi memang dari kecil, 2 adik saya ini selalu gemuk, tidak pernah mengenal kurus.

Ketika usia Danisa menginjak 2 bulan, tubuhnya mulai terlihat berisi. Pernah suatu saat Danisa diajak main sama mbah uti-nya. Ibu saya berkomentar: “Padahal cuma pake ASI aja ya, kok bisa ya bikin Danisa tambah besar?”. Dalam hati saya tersenyum pahit. ASI, ciptaan Allah swt, yang sudah jelas-jelas tertulis dalam surat Al-Baqarah, diragukan dapat memberi kehidupan.
Danisa saat berusia kurleb 1 bulan

Danisa saat berusia 1,5 bulan
Danisa saat berusia 2 bulan. Lihatlah pipi dan lengannya :D
Pengen nowel-nowel :D

Seharusnya, pada waktu itu, saya mulai menabung ASI perah (ASIP). Tapi ya itu tadi, informasi yang saya peroleh belum lengkap. Saya sudah mencoba untuk mulai memerah ASI. Tapi hasilnya mengecewakan. Selama 10 menit memerah, saya hanya memperoleh 10 ml saja dari kedua PD.
Saya berkonsultasi pada salah seorang teman di Dikes. Teman saya ini juga merupakan pejuang ASI. Dia terkenal membawa perlengapan memerah kemana-mana. Aneh ya, di institusi kesehatan sendiri aja ibu menyusui bawa perlengkapan memerah aja dinilai sesuatu yang luar biasa. Maksudnya, di luar dari kebiasaan umum.

Saya bertanya pada teman saya itu, kok hasil perahan saya sedikit. Sepuluh menit memerah cuma dapet 10 ml. Itu aja udah dari kedua PD. Jawaban teman saya bukannya menenangkan, justru malah bikin saya tertekan. “Loh kok sedikit banget sih? Saya lho dari 1 PD aja bisa dapet 80 ml.”

Saat itu saya nggak tau, bahwa hasil perahan ASI akan semakin banyak jika frekuansi memerah juga semakin sering dan konsisten. Lha itu tadi kan saya baru aja belajar memerah. Pertama kali memerah ASI. Gimana nggak bikin kepikiran coba?

Dari sini saya belajar. ASI dan menyusui wajib mulai dipelajari saat kita tahu kita positif hamil. Selain itu, sosialisasi ASI harus sedini mungkin dilakukan pada keluarga agar kita mendapat dukungan. Penyebab kegagalan pemberian ASI Eksklusif dan diteruskan hingga 2 tahun tidak jauh-jauh. 

Keluarga.

Tidak ada komentar: