*setelah bagian terdahulu saya bercerita tentang awal persalinan, bagian ini akan bercerita tentang klimaks proses kelahiran Danisa..
Waktu 2 jam itu terasa lama sekali. Sampai jam 16.00 saya dinyatakan baru bukaan 6. Saya sudah berteriak sejadi-jadinya. Tiap gelombang besar rasa sakit itu datang, selalu ada keinginan untuk 'ngeden', seperti ingin buang air besar. Melihat saya ngeden, mahasiswa kebidanan yang praktik di Exonero memperingati saya untuk tidak ngeden. Belom waktunya. Saya juga disarankan untuk tidur dengan posisi miring ke kiri. Posisi ini berguna agar janin dapat memperoleh asupan oksigen sehingga ia bisa berjuang untuk keluar dari rahim ibunya.
Selain memperingati saya untuk tidak ngeden, para bidan itu juga memperingati saya untuk tidak terlalu mngeluarkan tenaga untuk berteriak. Masih ada proses panjang lain yang membutuhkan tenaga saya. lebih baik tarik dan hembuskan napas, begitu kata mereka. Tapi sakiiiiiittttt.. Dan berteriak adalah sepertinya jalan tertenak yang dapat saya lakukan untuk melampiaskan rasa sakit itu. Di sini saya berkesimpulan, rasa sakit mempengaruhi otak sehingga enggan untuk berpikir 'sesuai aturan'.
Pelampiasan rasa sakit saya yang lain adalah dengan mencakar, menjambak, dan memeluk suami saya erat-erat. Saya baru sadar setelah masuk kamar perawatan, lengan dan pipi suami penuh bekas kemerahan. Sebegitu ganaskah saya? Oh iya, saat proses sakit-teriak-cakar-jambak-itu, saya rasanya tidak suka disentuh oleh orang lain. Adik saya Esthi mencoba menenangkan saya dengan mengelus-elus punggung saya. Tapi saya tidak suka elusan itu. Rasanya sangat mengganggu ditengah-tengah rasa sakit yang teramat sangat. Saya juga tidak suka jika kaki saya menyentuh besi pembatas tempat tidur, tempat saya berbaring. Ngilu dan dingin sekali rasanya... Kesimpulan saya yang lain: rasa sakit membuat kita berperilaku aneh.
Tapi, di tengah rasa sakit yang mendera hebat, saya masih bisa berpikir dan memerintahkan diri saya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang ngaco. Misalnya: saya nggak mau melahirkan lagi, udaaaahhhh..operasi ajaaaaa..., semacam itu. Saya sadar setelah proses melahirkan ini insyaAllah semua akan baik-baik saja. Malu kan kalo setelah ini saya diejek-ejek, "Mana tuuuuhhh..yang katanya nggak mau melahirkan...".
Sekitar pukul 17.00, rasa sakit itu rasanya sudah sampai puncaknya. Saya sudah kelelahan. Dokter Soes kemudian datang beserta bidan. Saya diminta telentang dari posisi miring kiri. Proses selanjutnya tiba: ngeden untuk mengeluarkan bayi saya. Saya diminta untuk mengikuti instruksi bidan. Ketika rasa sakit datang, hembuskan napas, hembuskan sambil mendorong yang dipusatkan pada bagian bawah perut. Terdengar mudah ya.. Saya berulang kali gagal melakukannya. Dorongan yang saya hasilkan berpusat di wajah, tidak di bagian bawah perut. Dorongan seperti inilah yang dapat menyebabkan pembuluh mata di sekitar wajah dapat pecah. Wajah saya sudah basah, simbah oleh keringat dan air mata yang dari tadi mengalir.
Setelah berkali-kali gagal, saya mulai menemukan ritme mengambil napas dan mendorong yang benar. Pada usaha mendorong yang kesekian kalinya, ada benda besar yang keluar. Kemudian terdengar suara bayi menangis melengking. Saya melihat bayi merah, penuh lendir, dibawa oleh bidan. Ia diukur, ditimbang, dan diperiksa dokter dibawah sinar lampu. Saya terengah-engah. Suami menciumi saya berkali-kali. " Deeekkkkk, adek hebattttt. Itu anak kita. Anak kita cantik sayaaaaangggg....".
Tak lama, bidan meletakkan bayi saya di dada saya. Akhirnya, saya melihat bayi yang saya kandung selama 9 bulan. Bayi yang menendang-nendang perut saya. Bayi yang saya ajak bicara jika sedang naik motor. Rambutnya berantakan sekali, masih penuh lendir. Matanya terlihat sembab. Ia diam sambil menatap saya. Ya Allah...mata itu..... *saya menitikkan air mata saat mengetik ini...
*ah, to be continued lagi ya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar