Senin, 21 Mei 2012

Selamatkan Setiap Ibu di NTB

Tulisan ini merupakan tulisan saya yang saya ikutsertakan dalam event Lomba Menulis "Bangga Menjadi Orang NTB" Desember 2011 kemarin. Saya bela-belain nyuri waktu nongkrong di depan laptop buat nulis waktu kegiatan Lomba Balita Sejahtera Indonesia Kota Mataram di aula lantai III kantor walikota.

Tapi, nggak menang..nggak masuk nominasi juga...

Hiks.

Mungkin karena tulisan yang saya buat ini melenceng dari tema..

Yasudlah..daripada tulisannya mubazir nggak kesebar, saya post disini deh...


Murniati (40 tahun, bukan nama sebenarnya) pucat. Ia mengalami perdarahan setelah berjuang melahirkan anak kelimanya. Ari-ari bayinya tidak mau keluar. Dukun yang menolongnya tidak mampu berbuat lebih dalam kondisi ini. Setelah memanggil bidan, Murniati diputuskan untuk dibawa ke rumah sakit. Namun, drama perjuangan ibu itu tidak berhenti disitu. Saat itu tengah waktu sholat Isya di bulan Ramadhan. Suami Murniati kelimpungan mencari pinjaman mobil di tetangga sekitar, karena hampir semua warga pada saat itu tengah berada di masjid, menunaikan sholat tarawih. 

Meski Murniati dapat dibawa ke rumah sakit, ibu yang baru saja berjuang demi sang anak itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan bayi yang sangat membutuhkan makanan bayi terbaik di seluruh dunia, yaitu air susu ibu (ASI). Bayi yang baru hadir di dunia bising ini tidak bisa nyaman mendekap hangat ibunya. Bayi baru lahir itu rapuh, serapuh-rapuhnya dan ia ditinggalkan malaikat penjaganya, ibunya sendiri.
_________________________________________

Cerita di atas bukan jalan cerita sebuah film drama. Cerita tersebut adalah sepenggal kisah kematian ibu di salah satu sudut propinsi NTB. Mungkin untuk beberapa orang kematian ibu adalah hal biasa. Sudah takdir, begitu yang sering terlintas di benak kita. Tapi,  mulai saat ini, saya ingin mengajak semua orang untuk tidak lagi menganggap kematian ibu adalah peristiwa biasa.

Sebelumnya saya akan menjelaskan pengertian kematian ibu yang saya maksud dalam tulisan ini. Kematian ibu adalah kematian perempuan mulai saat hamil sampai dengan 42 hari sejak kelahiran tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh, dan lain-lain.

Lalu, mengapa kematian ibu ini begitu penting, begitu (se)harus(nya) mendapat perhatian lebih dari semua orang, semua pihak? Jika kita berbicara tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) propinsi NTB, maka saya yakin semua sudah mengetahui prestasi NTB dalam tanda kutip ini. Ya, dari data peringkat IPM terakhir (tahun 2009) propinsi kita berada pada peringkat 32 dari 33 propinsi seluruh Indonesia (suarantb.com). 

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dipengaruhi oleh tiga bidang pembangunan manusia yang sangat mendasar yaitu usia hidup (longetivity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Indikator usia hidup sangat ditentukan oleh angka kematian bayi dan angka kematian ibu. Angka kematian ibu juga menggambarkan kualitas sistem pelayanan kesehatan di suatu wilayah. Untuk angka kematian ibu, propinsi kita ini kembali mencatatkan prestasi dalam tanda kutip. Angka kematian ibu di NTB acapkali lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Luar biasa? Ya memang begitu kondisi di propinsi kita ini.

Demi melihat prestasi propinsi NTB dalam tanda kutip itu, memang sepantasnya kita malu. Masih jauh panggang dari api jika kita ingin berkata bangga. Tapi, saya harus memberi acungan jempol pada Gubernur NTB TGH Zainul Majdi. Beliau selalu mendengungkan “ Bangga Menjadi NTB” dalam tiap peringatan HUT propinsi NTB. Menurut saya, kata Bangga disini tidak hanya bermakna bangga pada kelebihan yang NTB miliki. Motto “ Bangga, Menjadi NTB” juga bermakna lebih dari itu. Motto itu berisi bahan bakar agar kita tersadar, termotivasi, dan bergerak cepat menuju perbaikan. Bahan bakar ini sangat penting mengingat selama ini propinsi NTB masih sangat banyak memiliki kekurangan, salah satunya adalah tingginya angka kematian ibu.

Berangkat dari latar belakang itulah, Gubernur TGH Zainul Majdi mencanangkan gerakan percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan. Gerakan ini dikenal dengan Akino, Angka Kematian Ibu Menuju Nol. Visi utama dari Akino adalah menuju angka kematian ibu nol di tingkat desa/kelurahan, yang diharapkan dapat berdampak pada penurunan angka kematian ibu pada tingkat propinsi NTB.

Paparan awal tersebut saya harap dapat mudah dimengerti. Atau termasuk susah? Oke, gambaran mudahnya seperti ini. Jika di sekitar Anda atau ada diantara anggota keluarga Anda yang tengah hamil, maka saya harapkan agar bukan hanya Anda, tapi semua orang yang ada di sekitar ibu hamil untuk memperhatikan kesehatan dan keselamatannya. Ibu hamil merupakan kelompok rentan, bersama bayi, balita, dan lanjut usia. Kenapa rentan? Karena ia tidak hanya memberi “hidup” untuk dirinya sendiri. Ada janin di dalam perutnya yang juga sangat membutuhkan asupan gizi untuk perkembangannya hingga lahir kelak.

Kehamilan memang suatu proses alamiah kehidupan, namun bagai pisau bermata dua, kehamilan juga dapat mengancam kehidupan ibu apabila tidak diperhatikan dengan baik. Ibu hamil juga sebaiknya rutin memeriksakan kehamilan pada tenaga kesehatan, agar kondisi ibu dan janin tetap terpantau.

Jika tidak mampu, ibu hamil dapat memeriksakan kesehatannya di pos pelayanan terpadu (posyandu), pelayanan kesehatan terdekat dengan masyarakat. Jangan khawatir, gratis alias tidak perlu membayar. Untuk persalinan, tidak perlu khawatir juga. Ada jaminan persalinan (jampersal). Asal punya KTP atau keterangan domisili, ibu dapat melahirkan di sarana kesehatan secara gratis. 

Semua usaha ini bukan berarti tanpa kendala dan hambatan. (Saya menghela napas panjang saat hendak menulis tentang kendala ini). Masih ada desa yang belum memiliki bidan dan tempat fasilitas kesehatan. Belum lagi masalah geografis. Jarak antara masyarakat dengan tenaga kesehatan kadang terpisah bukit dan sungai. Ditambah dengan kentalnya tradisi dan budaya melahirkan di dukun. Tidak ada yang bisa menjamin alat-alat yang digunakan oleh dukun itu steril. Dukun bahkan tidak punya kemampuan jika terjadi hal-hal yang tidak normal pada saat persalinan. Bukankah persalinan penuh dengan hal yang rawan terjadi? 

Tapi dukun masih saja jadi idola. Sepertinya para petugas kesehatan harus berjuang keras untuk merebut hati ibu hamil dan keluarganya. Sosok dukun beranak begitu mengakar. Ia bahkan dianggap sebagai tokoh spiritual. Dalam proses persalinan, kedekatan psikologis antara ibu hamil dan keluarga begitu lekat dengan sang dukun. Dukun juga mencucikan kain penuh darah bekas proses persalinan. Sesuatu yang tidak mereka peroleh ketika bersalin di tenaga kesehatan.

Harus diakui, tantangan pemerintah sangat besar. Tidak hanya berkutat di kendala teknis (tenaga kesehatan, fasilitas, dan pembiayaan), kendala non teknis seperti tradisi, budaya, dan faktor psikologis masyarakat juga tak kalah menantangnya. Pemerintah melalui instansi terkait harus terus melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, atau siapapun yang paling didengar suaranya oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar setiap orang memperhatikan kesehatan dan keselamatan ibu hamil. Agar jangan lagi ada pendapat seperti yang pernah saya dengar di suatu desa tentang kematian bayi: “Kematian adalah takdir Nenek Kaji (Tuhan YME), maka kalau sudah menjadi takdir, kita mau apa?”. Astaghfirullah, lalu dimana letak ikhtiar atau usaha itu? Bukankah Tuhan memerintahkan kita untuk berusaha sebaik-baiknya? Masalah hasilnya, Ia Yang Maha Kuasa yang akan mengatur.

Semoga tulisan sederhana ini mampu untuk sedikit membuka mata dan telinga kita akan tingginya angka kematian ibu di propinsi NTB. Derajat kesehatan masyarakat NTB tergambar dari angka itu. Tak lupa, semoga suatu hari nanti kita bisa Bangga Menjadi NTB karena NTB berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Last but not least: Health is not everything, but without health, everything is nothing. Salam sehat!

Tidak ada komentar: