Tapi, nggak menang..nggak masuk nominasi juga...
Hiks.
Mungkin karena tulisan yang saya buat ini melenceng dari tema..
Yasudlah..daripada tulisannya mubazir nggak kesebar, saya post disini deh...
Murniati (40 tahun, bukan nama sebenarnya)
pucat. Ia mengalami perdarahan setelah berjuang melahirkan anak kelimanya.
Ari-ari bayinya tidak mau keluar. Dukun yang menolongnya tidak mampu berbuat
lebih dalam kondisi ini. Setelah memanggil bidan, Murniati diputuskan untuk
dibawa ke rumah sakit. Namun, drama perjuangan ibu itu tidak berhenti disitu.
Saat itu tengah waktu sholat Isya di bulan Ramadhan. Suami Murniati kelimpungan
mencari pinjaman mobil di tetangga sekitar, karena hampir semua warga pada saat
itu tengah berada di masjid, menunaikan sholat tarawih.
Meski Murniati dapat dibawa ke rumah sakit, ibu
yang baru saja berjuang demi sang anak itu akhirnya menghembuskan nafas
terakhir. Ia meninggalkan bayi yang sangat membutuhkan makanan bayi terbaik di
seluruh dunia, yaitu air susu ibu (ASI). Bayi yang baru hadir di dunia bising
ini tidak bisa nyaman mendekap hangat ibunya. Bayi baru lahir itu rapuh,
serapuh-rapuhnya dan ia ditinggalkan malaikat penjaganya, ibunya sendiri.
_________________________________________
Cerita di atas bukan jalan cerita sebuah film
drama. Cerita tersebut adalah sepenggal kisah kematian ibu di salah satu sudut
propinsi NTB. Mungkin untuk beberapa orang kematian ibu adalah hal biasa. Sudah
takdir, begitu yang sering terlintas di benak kita. Tapi, mulai saat ini, saya ingin mengajak semua
orang untuk tidak lagi menganggap kematian ibu adalah peristiwa biasa.
Sebelumnya saya akan menjelaskan pengertian
kematian ibu yang saya maksud dalam tulisan ini. Kematian ibu adalah kematian
perempuan mulai saat hamil sampai dengan 42 hari sejak kelahiran tanpa
memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang
disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena
sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh, dan lain-lain.
Lalu, mengapa kematian ibu ini begitu penting,
begitu (se)harus(nya) mendapat perhatian lebih dari semua orang, semua pihak?
Jika kita berbicara tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) propinsi NTB, maka
saya yakin semua sudah mengetahui prestasi NTB dalam tanda kutip ini. Ya, dari
data peringkat IPM terakhir (tahun 2009) propinsi kita berada pada peringkat 32
dari 33 propinsi seluruh Indonesia (suarantb.com).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dipengaruhi oleh tiga bidang
pembangunan manusia yang sangat mendasar yaitu usia hidup (longetivity), pengetahuan (knowledge),
dan standar hidup layak (decent living).
Indikator usia hidup sangat ditentukan oleh angka kematian bayi dan angka
kematian ibu. Angka kematian ibu juga menggambarkan kualitas sistem pelayanan
kesehatan di suatu wilayah. Untuk angka kematian ibu, propinsi kita ini kembali
mencatatkan prestasi dalam tanda kutip. Angka kematian ibu di NTB acapkali
lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Luar biasa? Ya memang begitu
kondisi di propinsi kita ini.
Demi melihat prestasi propinsi NTB dalam tanda kutip itu, memang
sepantasnya kita malu. Masih jauh panggang dari api jika kita ingin berkata
bangga. Tapi, saya harus memberi acungan jempol pada Gubernur NTB TGH Zainul
Majdi. Beliau selalu mendengungkan “ Bangga Menjadi NTB” dalam tiap peringatan
HUT propinsi NTB. Menurut saya, kata Bangga disini tidak hanya bermakna bangga
pada kelebihan yang NTB miliki. Motto “ Bangga, Menjadi NTB” juga bermakna
lebih dari itu. Motto itu berisi bahan bakar agar kita tersadar, termotivasi,
dan bergerak cepat menuju perbaikan. Bahan bakar ini sangat penting mengingat
selama ini propinsi NTB masih sangat banyak memiliki kekurangan, salah satunya adalah
tingginya angka kematian ibu.
Berangkat dari latar belakang itulah, Gubernur TGH Zainul Majdi
mencanangkan gerakan percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan.
Gerakan ini dikenal dengan Akino, Angka Kematian Ibu Menuju Nol. Visi utama
dari Akino adalah menuju angka kematian ibu nol di tingkat desa/kelurahan, yang
diharapkan dapat berdampak pada penurunan angka kematian ibu pada tingkat
propinsi NTB.
Paparan awal tersebut saya harap dapat mudah dimengerti. Atau
termasuk susah? Oke, gambaran mudahnya seperti ini. Jika di sekitar Anda atau
ada diantara anggota keluarga Anda yang tengah hamil, maka saya harapkan agar
bukan hanya Anda, tapi semua orang yang ada di sekitar ibu hamil untuk
memperhatikan kesehatan dan keselamatannya. Ibu hamil merupakan kelompok
rentan, bersama bayi, balita, dan lanjut usia. Kenapa rentan? Karena ia tidak
hanya memberi “hidup” untuk dirinya sendiri. Ada janin di dalam perutnya yang juga
sangat membutuhkan asupan gizi untuk perkembangannya hingga lahir kelak.
Kehamilan memang suatu proses alamiah kehidupan, namun bagai pisau
bermata dua, kehamilan juga dapat mengancam kehidupan ibu apabila tidak
diperhatikan dengan baik. Ibu hamil juga sebaiknya rutin memeriksakan kehamilan
pada tenaga kesehatan, agar kondisi ibu dan janin tetap terpantau.
Jika tidak mampu, ibu hamil dapat memeriksakan kesehatannya di pos
pelayanan terpadu (posyandu), pelayanan kesehatan terdekat dengan masyarakat.
Jangan khawatir, gratis alias tidak perlu membayar. Untuk persalinan, tidak
perlu khawatir juga. Ada jaminan persalinan (jampersal). Asal punya KTP atau
keterangan domisili, ibu dapat melahirkan di sarana kesehatan secara gratis.
Semua usaha ini bukan berarti tanpa kendala dan hambatan. (Saya
menghela napas panjang saat hendak menulis tentang kendala ini). Masih ada desa
yang belum memiliki bidan dan tempat fasilitas kesehatan. Belum lagi masalah
geografis. Jarak antara masyarakat dengan tenaga kesehatan kadang terpisah
bukit dan sungai. Ditambah dengan kentalnya tradisi dan budaya melahirkan di
dukun. Tidak ada yang bisa menjamin alat-alat yang digunakan oleh dukun itu
steril. Dukun bahkan tidak punya kemampuan jika terjadi hal-hal yang tidak
normal pada saat persalinan. Bukankah persalinan penuh dengan hal yang rawan
terjadi?
Tapi dukun masih saja jadi idola. Sepertinya para petugas kesehatan
harus berjuang keras untuk merebut hati ibu hamil dan keluarganya. Sosok dukun
beranak begitu mengakar. Ia bahkan dianggap sebagai tokoh spiritual. Dalam
proses persalinan, kedekatan psikologis antara ibu hamil dan keluarga begitu
lekat dengan sang dukun. Dukun juga mencucikan kain penuh darah bekas proses
persalinan. Sesuatu yang tidak mereka peroleh ketika bersalin di tenaga
kesehatan.
Harus diakui, tantangan pemerintah sangat besar. Tidak hanya
berkutat di kendala teknis (tenaga kesehatan, fasilitas, dan pembiayaan),
kendala non teknis seperti tradisi, budaya, dan faktor psikologis masyarakat
juga tak kalah menantangnya. Pemerintah melalui instansi terkait harus terus
melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, atau siapapun yang
paling didengar suaranya oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar setiap orang
memperhatikan kesehatan dan keselamatan ibu hamil. Agar jangan lagi ada
pendapat seperti yang pernah saya dengar di suatu desa tentang kematian bayi:
“Kematian adalah takdir Nenek Kaji (Tuhan YME), maka kalau sudah menjadi
takdir, kita mau apa?”. Astaghfirullah, lalu dimana letak ikhtiar atau usaha
itu? Bukankah Tuhan memerintahkan kita untuk berusaha sebaik-baiknya? Masalah
hasilnya, Ia Yang Maha Kuasa yang akan mengatur.
Semoga tulisan sederhana ini mampu untuk sedikit membuka mata dan
telinga kita akan tingginya angka kematian ibu di propinsi NTB. Derajat
kesehatan masyarakat NTB tergambar dari angka itu. Tak lupa, semoga suatu hari
nanti kita bisa Bangga Menjadi NTB karena NTB berhasil meningkatkan derajat
kesehatan masyarakatnya. Last but not
least: Health is not everything, but
without health, everything is nothing. Salam sehat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar