Jumat, 08 November 2013

Ya terserah sih....

Kemarin saya membaca artikel di The Urban Mama. Artikel lama yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu yang berusaha memberi ASI eksklusif untuk anaknya. Dimulai dari bayinya yang tidak mau menyusu pada putingnya yang datar, bertemu dengan konselor laktasi yang kurang menyenangkan, hingga akhirnya ia memberi susu formula saat anaknya berusia 7 bulan. Ibu itu mengeluhkan tentang pendapat orang-orang di sekitar yang seakan menyalahkannya mengapa ia memberi susu formula. Orang-orang yang ia sebut sebagai 'nursing nazis'.

Serem ya istilahnya....

Artikel tersebut banyak menuai komentar yang mendukung penulisnya. Yang membuat saya sedih adalah ketika membaca salah satu komentar dari artikel tersebut. Ada yang mengutarakan komentar seperti ini: "......toh susu formula kan bukan racun...."

:'(

Menurut pandangan saya, komentar tersebut seakan memberi 'ruang' untuk memberikan susu formula pada anak.

Iya sih susu formula bukan racun yang bikin kita tewas dalam waktu singkat. Tapi dengan mengetahui banyak masalah yang timbul di kemudian hari akibat pemberian susu formula (disadari atau nggak), saya nggak tega kalo melihat ada anak yang dikasih susu formula.

Danisa pernah merasakan susu formula. Saat itu saya putus asa dengan hasil ASIP yang makin seret saat Danisa berusia 10 bulan (ini salah saya yang tidak rajin merah ASI setelah ia berusia 6 bulan). Pertambahan berat badannya juga cenderung melambat. Ditambah waktu itu  ia ogah-ogahan makan. Yang paling bikin sedih, semua orang mengatakan Danisa kurus.

Padahal kalo sekarang saya melihat foto-foto Danisa pada waktu itu, badannya oke-oke aja kok. Di grafik KMS memang plot berat badannya berada pada grafik hijau muda. Emang nggak gemuk sih, nggak chubby yang bikin gemes kayak bayi di iklan-iklan.

Semua hal tersebut seakan memberi jalan bagi mbah kakung yang sejak awal kelahiran Danisa selalu meminta saya untuk memberi Danisa susu formula. Saya sedih. Saya tidak bisa mempertahankan keinginan saya untuk tidak memberi Danisa susu formula.

Alhamdulillah... Keinginan saya itu diberi 'jalan keluar' oleh Allah swt. Setelah hampir 2 bulan mengkonsumsi susu formula, Danisa mencret!  Karena sejak lahir Danisa jarang sakit, peristiwa mencret ini cukup membuat heboh di rumah. Yess!! Ini jadi alasan saya untuk menghindarkan pemberian susu formula sejauh-jauhnya dari Danisa.

Mbah kakungnya pun jadi berhenti menyuruh ngasi sufor. Kapok ngeliat cucu pertama kesayangannya itu mencret :))

Selanjutnya, alhamdulillah saya dipertemukan dengan akun twitter Erikar Lebang. Dari situ saya tau bahwa susu apapun selain ASI tidak diperuntukkan untuk tubuh manusia. Jadi semakin kuat buat menangkis yang nanya-nanya kenapa Danisa nggak dikasi susu formula.

Sekarang, melihat komentar "...toh susu formula bukan racun....." beneran bikin saya nyesek. Yah..mungkin ia belum tahu ya..

Dan kalo memang tetap ingin memberi susu formula, ya terserah sih.... :)

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Tanpa basa-basi lagi, memang tidak ada susu bayi sebaik ASI, so ASI memang layak diperjuangkan. Alhamdulillah, kedua anak saya semua lulus ASI-x. Yang pertama, ASI sampai 1 tahun setengah, lanjut susu UHT sampai sekarang. Anak kedua sekarang usianya satu tahun, masih lanjut ASI.

Meski saya seorang pro-asi dan berusaha mensosilisasikan juga, saya sering menyayangkan orang2 yang terang2an mencibir dan menyudutkan ibu yang memberikan susu formula. Padahal, tidak semua ibu yg memberikan sufor, tidak mau menyusui bayinya.

Saya seorang dokter umum di sebuah klinik jamsostek 24 jam, klinik murah yang dokter beserta perawatnya hanya dibayar 1000-1500 perpasien :).

Bisa ditebak ya, tingkat ekonomi pasien2 yang datang ke klinik itu bagaimana.

Saya sering menerima bayi2 baru lahir yang sudah sakit2an. Ya panas, ya flu, diare dll. Setelah saya tanya, apakah anak diberi ASI? Rata2 jawabnya CAMPUR dengan susu formula (tentunya sufor kualitas rendahan yang bisa dibeli di warung dekat rumah).
Saat saya tanya lagi, apakah si ibu tahu kelebihan2 ASI dibanding sufor? Hampir semua jawabnya TIDAK. Disini ibu2 saya beri edukasi dan dimotivasi untuk terus memberikan ASI, bukan campuran. Alhamdulillah, dari sekian banyak ibu2 tersebut meyakini dan menjalankan saran saya.

Tapi... ada beberapa yang membuat saya menyerah. Betul2 menyerah karena si ibu memang betul2 tidak bisa memberikan ASI tanpa dicampur.

Ceritanya gini, ada ibu2 yang bayinya (4 bulan), pilek terus2an, dan status pemberian ASInya: campur. Saya bilang, coba singkirkan sufornya, dan kasih ASI full saja. Si ibunya bilang gak bisa karena bekerja (buruh pabrik). Akhirnya, seperti biasa saya beri edukasi bagaimana cara ibu bekerja agar bisa tetap memberi ASI dan menabung ASIP, tentunya penjelasan saya menyesuaikan dengan kondisi si ibu juga (misalnya, gak punya pompa bisa pakai jari, gak mampu beli botol ASIP bisa pakai plastik makanan, dll).

Setelah panjang lebar menjelaskan, ada jawaban si ibu membuat saya speechless,"Saya gak punya kulkas untuk simpan ASIP, dok"

Deg, kaget saya. Sedangkan, si ibu merupakan tulang punggung keluarga yang tidak mungkin melepas pekerjaannya.

Saya nyerah.

Akhirnya, memang ada alasan selain menderita infeksi serius,
yang benar2 membuat seorang ibu tidak bisa memberikan full ASI kepada bayinya.

Makanya, kadang saya miris juga dengan ibu2 yang terlalu congkak kepada mereka yang tidak memberikan ASI/tidak full ASI kepada bayinya. Bahkan kepada si ibu yang memang sudah berusaha keras. Mereka tidak benar2 tahu toh, apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam tubuh si ibu? Atau yang ada di dalam perasaan si ibu?

Seperti teman saya, yang ASInya memang tidak benar2 keluar, meski berbagai cara dan upaya sudah dilakukan. Baru terkuak, ternyata teman saya itu memang menyimpan depresi berkepanjangan karena masalah pernikahan. Kita tahu stress bisa menyebabkan hormonal imbalance, padahal ASI sepenuhnya dikontrol oleh hormon prolaktin dan oksitosin. Kalau imbalance? Logis saja kalau ASI mampet.

Nah, contoh yang kayak gini kan orang luar gak mungkin tahu. Jadi pelajaran untuk saya juga sebagai praktisi untuk lebih bijak dalam melihat sebuah permasalahan.

Akhir kata, maaf ya kepanjangan. Ini sih bukan komentar, tapi cerita, hehe. Baca postingan ini tiba2 jadi ingat kejadian2 di ruang praktek...

Trimkasih :)

Erika Widiastuti mengatakan...

Halo bu dokter, salam kenal.... :))

Seneng bu dokter sempet mampir ke blog saya..

Kalo saya, lebih memilih diam aja, tidak menyalahkan. Tapi saya tetap tidak menyetujui pemberian sufor kecuali dengan alasan medis.

Namun jika memberi sufor sudah menjadi pilihan, saya menghormatinya.

Nah, kecuali kalo ditanya duluan, baru deh 'koar-koar' lagi, hehehehehe..

Oh ya, saya bertugas sebagai petugas promosi kesehatan di puskesmas.

Sekali lagi, salam kenal.. :)

Unknown mengatakan...

saya senang membaca tulisan Bu Erika. dan akan lebih menarik lagi jika Bu Erika bergabung di http://kampung-media.com/ dan menuliskan artikel2 bermanfaat lainnya karena kampung media adalah sosial media anak2 ntb

Erika Widiastuti mengatakan...

Waaaaahhhhh...blog dibaca sama artis Lombok!! Aduh pak Abu Macel, tulisan ngawaq-ngawaq aja ini. Belum pantas masuk media.. :)

Unknown mengatakan...

kampung media itu kan citizen journalism.... jadi tulisan apapun gak masalah... tapi yang jelas tulisan Bu Erika menurut saya menari untuk disebaran melalui kampung media. Buat akun dan mulailah menulis.

Erika Widiastuti mengatakan...

Buat akun apa pak, maksudnya?