Pagi itu,
suasana di SDN 47 Cakranegara tampak ramai. Saya dan teman-teman
mahasiswa dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Al Azhar (Unizar)
Mataram sampai di sekolah pada jam istirahat. Kami akan melaksanakan
penyuluhan cuci tangan pakai sabun di sekolah dasar tersebut. Kegiatan
penyuluhan ini merupakan puncak kegiatan praktek lapangan mahasiswa
semester 6 FK Unizar di wilayah puskesmas tempat saya bekerja.
Sebelum kegiatan penyuluhan ini, teman-teman
mahasiswa melakukan kajian perilaku sehat di salah satu wilayah
kelurahan yang dinilai memiliki paling banyak masalah kesehatan.
Berdasarkan hasil kajian mereka, perilaku cuci tangan pakai sabun masih
banyak belum dilakukan oleh masyarakat di kelurahan Sayang-sayang.
Bagi puskesmas, kelurahan Sayang-sayang merupakan wilayah dengan kondisi sanitasi yang tidak sebaik wilayah lain. Kondisi sanitasi tersebut juga diikuti dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang masih rendah, termasuk perilaku cuci tangan pakai sabun.
Bagi puskesmas, kelurahan Sayang-sayang merupakan wilayah dengan kondisi sanitasi yang tidak sebaik wilayah lain. Kondisi sanitasi tersebut juga diikuti dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang masih rendah, termasuk perilaku cuci tangan pakai sabun.
Teman-teman mahasiswa FK Unizar kemudian
memprioritaskan sasaran kegiatan intervensi pada siswa sekolah dasar.
Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan mengalami resiko masalah
kesehatan akibat kondisi sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat
yang buruk. Jika sejak usia dini mereka sudah dikenalkan pada perilaku
hidup sehat, maka besar harapan generasi mendatang akan memiliki budaya
hidup bersih dan sehat pula.
Dalam kegiatan penyuluhan, mahasiswa FK Unizar juga
mendemonstrasikan cara cuci tangan pakai sabun yang baik dan benar
kepada para siswa. Demonstrasi ini dilanjutkan dengan praktek bersama
cuci tangan pakai sabun menggunakan gentong air sumbangan para
mahasiswa.
————–
Setelah beberapa bulan berlalu, saya kembali
berkunjung ke sekolah dasar tersebut. Sebagai bagian dari wilayah kerja
puskesmas, saya melakukan kegiatan pembinaan perilaku hidup bersih dan
sehat secara rutin di sekolah. Saya melihat gentong-gontong air
sumbangan mahasiswa FK Unizar teronggok begitu saja di halaman, seperti
tidak pernah difungsikan lagi. Tidak
seperti waktu demonstrasi cuci tangan bersama dulu, gentong-gentong itu
berjejer rapi di depan kelas.
Waktu saya bertanya kenapa tidak menggunakannya, pihak sekolah menjawab jika gentong itu diisi maka para siswa akan menggunakannya untuk bermain-main sehingga membuat becek teras sekolah.
Waktu saya bertanya kenapa tidak menggunakannya, pihak sekolah menjawab jika gentong itu diisi maka para siswa akan menggunakannya untuk bermain-main sehingga membuat becek teras sekolah.
Saya hanya terdiam mendengar jawaban pihak sekolah.
Di satu sisi, sebagai petugas dari puskesmas saya wajib untuk memberi
saran agar gentong-gentong air itu difungsikan kembali. Tujuannya untuk
memfasilitasi siswa agar dapat melakukan cuci tangan pakai sabun. Tapi
di sisi lain, saya maklum dengan kondisi sekolah.
Sekolah dasar tersebut berada di wilayah dengan karakteristik masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan golongan ekonomi menengah ke bawah. Anak-anak di sekolah itu mungkin sama dengan anak-anak lain yang senang bermain air. Masalah lain adalah mereka lebih sulit untuk diajak tertib.
Jadi, daripada kondisi halaman sekolah menjadi becek danberantakan gara-gara para siswa asyik bermain air, pihak sekolah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan gentong air hasil sumbangan tersebut.
———————
Cuci tangan dengan sabun seringkali dianggap
sebagai perilaku sepele. Padahal, dengan menjadikan perilaku ini sebagai
sebuah kebiasaan, manfaatnya besar sekali untuk mencegah terjadinya
penyakit, terutama penyakit infeksi pada anak-anak seperti diare.
Terjadinya penyakit infeksi pada anak dapat menjadi beban bagi orangtua
(sumber: disini)
Saya kemudian berkaca pada diri sendiri. Sebagai
seorang petugas kesehatan, tentu saya paham betul manfaat dari
menerapkan cuci tangan pakai sabun sebagai sebuah budaya hidup
sehari-hari. Oleh karena itu, saya berusaha agar perilaku tersebut
menjadi kebiasaan saya dan keluarga sehari-hari di rumah, termasuk pada
putri saya yang masih berusia balita.
Perubahan tentu dimulai dari diri sendiri, bukan?
Setiap menjelang waktu makan, saya mengajak balita
saya untuk bersama-sama mencuci tangan pakai sabun.Saya mengenalkan cara
mencuci tangan pakai sabun yang benar.
Namanya anak-anak, tentu senang diajak ‘main air’.
Sebenarnya, jika orangtua mau berpikir dengan positif, senang main air
ini adalah pintu masuk yang bagus untuk mengenalkan anak pada perilaku
cuci tangan pakai sabun. Apalagi ditambah mereka bisa bermain-main
dengan busa sabunnya.
Cuma, yaaa.. itu.
Sebagai seseorang yang sudah jauh
lebih tua dibandingkan anak-anak, saya seringkali tidak sabar melihat
tingkah putri saya. Dalam benaknya, tentu putri saya senang berlama-lama
bermain dengan air wastafel. Kadang diselingi dengan memutar-mutar kran
wastafel (ia takjub melihat air bisa mengalir dengan cara memutar-mutar
kran), meminta sabun lebih banyak (sepertinya anak saya senang melihat
cara kerja botol sabun cuci tangan, dipencet eh sabunnya keluar), atau
malah sambil nyerocos bertanya ini itu.
“Kenapa kita cuci tangan bu?”
“Yang mana nama jempol?”
“Sabunnya rasa apa ini bu?”
GRRRRRRRRRRRRRR….!!
Kalau stok sabar
tengah menipis (ditambah perut bernyanyi-nyanyi karena lapar), saya
malah jadi ‘mengacaukan’ acara perkenalan cuci tangan pakai sabun itu.
“Ayo, cepetan cuci tangannya.”, disertai dengan nada tidak sabar.
Ah, bisa jadi anak saya berpikir: cuci tangan pakai sabun nggak asik karena ibunya kok malah emosi.
——
Menurut H.L.Blum (1974), derajat kesehatan
masyarakat ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu perilaku, lingkungan,
pelayanan kesehatan, dan genetika. Lalu dari keempat faktor tersebut,
masih menurut H.L.Blum, lingkungan adalah faktor yang paling besar
menjadi penentu dibanding faktor
yang lain. Lingkungan bukan hanya lingkungan fisik seperti sarana dan
prasarana, tetapi juga termasuk lingkungan kimia, lingkungan biologi,
lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Selain sarana cuci tangan yang sudah tersedia,
lingkungan sosial menjadi penentu proses pengenalan perilaku. Lingkungan
sosial tersebut adalah teladan dan dukungan dari orang-orang disekitar
untuk menerapkan sebuah perilaku sehat.
Ambil contoh antara saya dan anak saya. Apa guna
sarana cuci tangan yang sudah tersedia di rumah jika ia tidak diberi
teladan dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya? Atau yang lebih
parah anak saya melihat ibunya keburu emosi saat mengajarkannya cuci
tangan pakai sabun. Saya sendiri tidak yakin anak saya akan mau
menerapkan perilaku cuci tangan pakai sabun hanya dengan mendengar saya
menyuruhnya untuk melakukan itu.
Children have never been very good at listening their parent, but they have never failed to imitate them. ~ James Baldwin
Untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada
perilaku cuci tangan pakai sabun, tidak hanya berhenti pada usaha
menyediakan sarananya. Tidak hanya selesai pada acara penyuluhan atau
kampanye sehari. Teladan, dukungan, semangat yang tiada putus dari
orang-orang di sekitar anak sangat dibutuhkan untuk menguatkan perilaku
sehat ini.
Memang tidak mudah, seperti halnya saat stok sabar
saya menipis menghadapi tingkah main air anak saya. Pasti akan
membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bertahun-tahun mungkin. Satu hal
yang harus kita ingat, inilah usaha untuk mencegah anak-anak Indonesia
dari ancaman penyakit infeksi yang beresiko pada kematian. Inilah usaha
membangun dan membentuk generasi masa depan, generasi #brightfuture yang sehat dan kuat.
Referensi: Notoadmodjo, Soekidjo. 2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta. Rineka Cipta.
ps: Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba Ayo Tulis Ceritamu untuk Indonesia Sehat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar