Kamis, 10 April 2014

Kenapa Saya (Keras Kepala) Memberikan ASI?

Ide untuk menulis post ini muncul ketika membaca tulisan di salah satu blog favorit saya.

“Kenapa sih benci sekali sama sufor? Dulu semua anak mami, termasuk suamimu, juga susu formula tuh dari umur 3 bulan. Buktinya dia juga bisa masuk UI sama kaya kamu, malah sekarang gajinya lebih tinggi dari kamu”*

Saya tertegun membaca serangkaian kalimat itu.

Sebagai seseorang yang teguh keras kepala berjuang jungkir balik buat memberi ASI pada Danisa dan berusaha menularkan ilmu ngASI kepada banyak orang, serangkaian kalimat tadi ibarat sebuah anak panah yang tepat menembak pada sasaran.

Tepat ke titik tengah sasaran. Makjlebbbbb!!! (gambar dari sini)

Kalimat itu benar bukan? Lebih dari kebenaran, kalimat itu adalah KENYATAAN.

"Kenapa repot memberi ASI? Toh anak saya dulu nggak ASI eksklusif juga bisa tuh jadi sarjana."
"Susah-susah amat sih mompa ASI? Anak saya dulu minum susu badannya gede gitu.. Masuk SMA favorit lagi."
"Anak tetangga cuma ASI aja toh sering sakit.."
"Anak saya dulu nggak ngASI sampe 2 tahun tapi bisa kok dapet ranking terus di sekolah.."

Waktu baru masuk dunia kerja dulu, saya pernah mendapat serangan kalimat ini. Apalah yang bisa dilakukan pegawai kinyis-kinyis masih bau kencur selain tersenyum kecut sambil mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan ngeles sana-sini.

Saya nggak benci susu formula. Tapi saya percaya dengan sumber-sumber seperti AIMI dan Erikar Lebang bahwa manusia nggak butuh susu hewan. Kalo memang nggak butuh, ya ngapain maksain diri buat minum susu hewan, termasuk susu formula? Gitu aja sih saya mikirnya.

Jika saya memutar ingatan, waktu Danisa lahir, saya sungguh berkomitmen untuk memberi ASI Eksklusif. Saya punya pengetahuan yang minim (malah boleh dibilang tak ada) tentang bagaimana ASI diproduksi, kenapa ASI pada hari pertama masih sedikit, bagaimana memaksimalkan hasil perahan, dan sebagainya. Saya hanya bertahan pada komitmen saya. Danisa harus lulus ASI Eksklusif. Titik.

Pertanyaan lagi. Kenapa Danisa harus lulus ASI Eksklusif?

Waktu itu, saya hanya tahu bahwa ASI adalah nutrisi terbaik untuk bayi. Terbaik dari sisi mana-nya? Kalau pertanyaan ini diajukan 3 tahun lalu, saya pasti akan menjawab secara teoritis. ASI mengandung antibodi, hormon, zat untuk perkembangan otak, AA, DHA, dan memberi ASI tidak beresiko seperti pemberian susu formula.

Teori yang sungguh tidak mudah dalam  prakteknya. As always.

Eh mudah nggak mudah itu tergantung ya. Asal tau ilmunya aja dulu ^^
 
Saya kemudian membuktikan kebenaran pepatah "dimana ada kemauan, disitu ada jalan". Mulai dari menemukan akun Twitter Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Pengetahuan saya tentang ASI dan menyusui menjadi terbuka lebar. Saya semakin yakin ketika melihat kesuksesan teman-teman sesama ibu menyusui lewat akun Twitter AIMI.

Mereka aja bisa, masa saya nggak?

Semakin bersemangat (dan keras kepala) lah saya.. Hehehehe...

Saya juga tak segan berkonsultasi pada teman-teman gizi di Puskesmas dan mbak Yuanna, teman di Dikes yang menjadi contoh sukses memberi ASI Eksklusif meski bekerja. Teman-teman selalu memberi saran apa yang harus saya lakukan dan memberi semangat :')

Oh ya, pernah nih saya curhat dengan teman di Puskesmas tentang tantangan yang justru datangnya dari orang-orang di rumah. Komentar teman saya itu: "Ya iyalah pendapat Erika dianggep sebelah mata. Pasti bapaknya Erika mikir, Erika aja yang nggak ASI eksklusif buktinya bisa lulus SPMB, kuliah di Unair, IPK bagus, lulus tes PNS lagi."

Eaaaaaa.... Makjleeeebbbb lagiiiiiii.... Huhuhuhuhu....

Eh, itu muji diri sendiri nggak papa kan? *senyum 5 jari :D :D :D :D :D
  
Selanjutnya, di tengah gelombang badai stok ASIP yang kejar tayang, hasil perahan tidak pernah banyak, dan 'rongrongan' untuk memberi susu formula pada Danisa, saya tetap gagah melangkah (padahal dalem hati ketar-ketir galau gundah gulana).

Tak terhitung sudah berapa kali saya menangis menghadapi kondisi di atas. Sudah berapa sesi curhat yang saya habiskan dengan suami. Saking emosinya, saya pernah menggunting sebuah artikel di koran bekas tentang resiko pemberian susu formula dan saya bilang ke seisi rumah: NIH BACA!!!

Kenapa saya begitu keras kepala?

Setidaknya, pertanyaan itu bisa (sedikit) saya jawab kini.

Alhamdulillah, lepas dari usia 2 tahun Danisa (lebih) jarang sakit. Tau sendiri kan kalo anak sakit. Kalo bisa sakitnya pindah ke kita aja sebagai ibunya. Anak sakit, pasti ibunya juga jadi 'sakit'. Kepikiran, waktu istirahat berkurang, waktu untuk bekerja juga harus dikorbankan, belum biaya yang keluar untuk pengobatan. Di jaman sekarang yang serba menuntut kedisiplinan dan prestasi kerja, tidak bisa masuk kerja itu sungguh suatu beban (buat yang nganggep beban yaaa.. Yang males sih nyantee ajaaaa..:p). Jika jaman dahulu masih banyak yang bisa kita andalkan untuk menjaga anak saat sakit, tapi tidak untuk saat ini. Mau tidak mau ibu yang harus turun tangan.

Buat saya pribadi, memberi ASI eksklusif dan diteruskan hingga 2 tahun atau lebih (Danisa menyapih saat usia 2 tahun 11 bulan) sungguh sebuah investASI. Jika investASI berupa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membeli susu formula, itu relatif ya buat masing-masing orang.

Buat saya pribadi, investASI berupa uang ini sungguh-sungguh membantu. Secara gitu, gaji suami istri ini udah kepotong buat nyicil rumah. Nggak kebayang kalo harus ditambah beban biaya membeli susu formula rutin tiap bulan

Tapi investASI yang benar-benar saya rasakan manfaatnya saat ini adalah saya bisa menghabiskan waktu kerja dengan maksimal.

Apalagi sekarang Danisa tengah dalam masa yang sangat senang bermain, jalan-jalan, dan selalu kepo akan lingkungan sekitar.
Main air seharian? Ayooookkkk...
Panas-panasan di pantai sampe item? Hyuuukkk mareeee...
Berenang sampe nggak mau keluar dari air? Hajaarrr!!
Minum es sirup? Sikaaaattttt...

Saya jadi inget dulu waktu kecil selalu dimarahi kalo ketauan minum es. Padahal minum es kan enak ya.. Ntar pilek loooohhh, ntar batuk... Mungkin daya tahan tubuh saya yang cemen makanya minum es dikit aja langsung meler. Atau kalau mau pergi-pergi ditakut-takutin ntar sakit pulangnya, ntar masuk angin...

Bukan berarti juga memberi ASI itu biar anak kita jadi super. Mengutip twit Mia Sutanto, ketua AIMI:

"Memang gak semua bayi akan jd Einstein atau Superman, but if breastfeeding helps you in your parenting duties, why not??"

Btw anak yang super itu anak yang kek gimana sih? Oh, yang suka diiklanin sama susu formula itu ya? #mulaiiiiikkkkkk :D :D :D :D :D

Lebih dari itu, ngASI bukan buat sok-sok-an. Bukan agar bisa bangga karena meraih gelar anak S1, S2, S3 ASI. Bukan buat membuktikan saya adalah ibu yang hebat.

Semua ibu itu hebat.

Saya mencintai Danisa. Saya begitu mengharapkan kehadiran Danisa. Sebagai amanah dari Allah swt, saya memacu diri saya untuk berusaha sekuat tenaga memberi yang terbaik.

Masalah prestasi di sekolah, nanti kuliah dimana, pekerjaannya apa, pengahasilannya seberapa besar, biarlah itu menjadi sebuah misteri di masa depan (cieeehhh..)

Ah Danisa kenapa posenya gituuuuuuu....

*ps: maaf ya mbak Jihan, kalimatnya dari blog-nya saya edit dikiiiitttt ;)


Tidak ada komentar: