Agak gimana gitu ya kesannya kalo pake kata drama. Soalnya gini. Meski saya (merasa) sudah mempelajari tentang ASI dan menyusui, pada prakteknya selalu saja ada yang mengganjal. Hasil ASIP yang naik turun dan ditambah acara kejar tayang. Belum lagi masih ada saja orang-orang di sekitar yang belum mengerti, belum mendukung bahkan terkadang sampe jadi menjelek-jelekkan ASI. Nah, inilah yang bikin kegiatan menyusui saya menjadi sebuah drama, termasuk saat saya ingin menyapih Danisa dengan metode weaning with love.
Saat Danisa berusia 19 bulan, saya mulai mencari informasi tentang menyapih, menghentikan anak dari kegiatan menyusui. Seperti biasa, saya bergerilya di web AIMI, Ayah ASI, dan The Urban Mama. Akhirnya, saya bertemu istilah menyapih dengan cinta, weaning with love. Bahwa untuk menyapih perlu kesepakatan dan kerjasama dari kedua orangtua. Bahwa untuk memisahkan seorang anak dari kenyamanan menyusu sebaiknya dilakukan dengan cara bertahap, konsisten, dan disiplin.
Sedangkan teknis yang dilakukan selama masa
penyapihan bermacam-macam. Ada yang pisah bobo’ sama ibu, metode hipnoterapi,
prinsip don’t offer don’t refuse,
pengalihan perhatian dan lain-lain. Tentu saja teknis dalam kegiatan penyapihan
disesuaikan dengan kondisi masing-masing ibu.
Kenapa menyapih dengan cinta?
Sepakat dong kalo kegiatan menyusu amat
sangaaaaaatttttt dicintai oleh anak. Sekarang cobalah kita memposisikan diri
sebagai anak. Bayangkan jika kita secara tiba-tiba, pake dipaksa pula, berpisah
dengan yang kita cintai.
Sedih....
Menyapih dengan cinta bisa berarti mencoba
menghargai perasaan anak dan mempercayai bahwa anak kita mampu menjalani sebuah
proses. Selain itu, saya nggak pengen Danisa jadi merasa dijauhkan dan nanti
punya pikiran buruk tentang ASI-nya. ASI-nya nggak enak, ASI-nya udah jadi
darah, ASI-nya bikin hoeeeeeekkkkk, semacam itu..
Saya lebay?
Terserah. Masbuloh? :p wkwkwkwkwkwk
Yang pasti, sejak awal menyusui Danisa dan saya
terus menyusuinya sampai usianya menjelang 2 tahun, adalah bukan perkara yang
mudah. Puting lecet, ASI (dibilang) sedikit, nggak cukup dan harus dibantu susu
formula, ngotot-ngototan sama mbah kakungnya Danisa, hasil ASIP saya
dikata-katain (masak susu harus dibawa kesana kemari begitu, kata bapak saya),
saat usia 9 bulan Danisa dikata-katain kurus karena nggak ada tenaga soalnya
nggak minum susu formula.
IBU MANA YANG NGGAK SAKIT HATI????
(malah jadi esmosi.. :D )
Tapi saya tetap bertahan. Menegakkan dagu. Meneruskan
memberi ASI. Tidak memberi susu formula. Memasukkan ke kuping kanan dan
mengeluarkan ke kuping kiri semua komentar negatif orang tentang ASI.
Akhirnya, setelah semua perjalanan itu, tegakah
saya memisahkan Danisa dengan ASI-nya secara paksa dan instan? Sampai hatikah
saya mengoleskan sesuatu yang menyeramkan di puting payudara saya agar Danisa
merasa takut sehingga ia enggan menyusu lagi?
Saya sudah susah payah belajar menyusuinya.
Waktu baru lahir, tentu Danisa juga belajar untuk menyusu dengan benar. Kami
berdua sama-sama belajar. Sesuatu yang diawali dengan indah seharusnya juga
diakhiri dengan indah. Saya tidak ingin perjuangan selama ini berakhir
dengan cara memaksa Danisa. Tidak adil buat dia. Biarlah ia tetap punya
kenangan indah tentang menyusui.
Saya lebay?
Sekali lagi. Terserah.
Breastfeeding is a sentimental journey.
Sampai pada masa saya beraksi. Saya memulai
masa penyapihan Danisa dengan kalimat:
“Danisa, kan Danisa udah besar. Udah pinter.
Kalo anak pinter, mimiknya air putih sama jus. Nanti nyonyoknya buat adek bayi
yang masih kecil..”
Kalimat ini mulai saya luncurkan saat Danisa
berusia 19 bulan. Kalo mau cepat menyapih, intensitas pemberian kalimat
afirmasi ini harus lebih sering dan konsisten dilakukan. Saya sendiri tidak
mengharuskan Danisa selesai disapih saat usianya tepat 2 tahun. Toh menyusui
lebih dari 2 tahun juga masih berguna kan untuk perkembangan anak.. Jadi saya
santai saja…
Waktu Danisa berusia 30 bulan (2,5 tahun)
orang-orang di sekitar mulai bertingkah nggak asik.
“ASTAGA, DANISA UMUR SEGITU
MASIH NYUSU?!!?!”
Dalem hati: Aduuuhhh nggak usah histeris gitu juga kaliiiiii. Baca artikel-nya AIMI
sana :))
Dan, mulai lah ASI saya dikata-katain (lagi).
ASI basi lah, nanti bikin Danisa sakit lah, ASI udah jadi darah lah. Yang
bilang ASI nanti jadi darah ini biasanya dia nggak pernah liat dan
membuktikan sendiri ASI itu jadi darah. Trust me. Korban gosip dan mitos
aja nih yang komentar kayak gini.
Saya sih karena sudah tau ilmunya, jadi ya diem
dan senyuuuuum yang lebaaaaarrrr. Anggap saja ia perhatian pada saya dan Danisa
cuma sayang informasinya keliru :)
Nah, waktu Danisa menginjak usia 2,5 tahun ini,
frekuensinya menyusu sudah jauh berkurang. Jika sebelumnya waktu menyusu Danisa
tidak bisa ditebak, sekarang sudah bisa dipastikan. Danisa pasti akan minta
menyusu saat ia bangun tidur pagi hari, saat saya pulang kantor, saat akan
tidur malam, dan saat ia sedang jengkel/kesal/sedih/marah.
Jadi ia menyusu
hanya sekedar mencari rasa nyaman. Jika pada saat-saat tersebut saya menolak
permintaannya akan menyusu, Danisa langsung ‘sakaw’. Ia akan menangis hebat.
Nggak tega bener ngeliatnya…. :’(
Mungkin itu juga yang jadi sebab Danisa belum
mau disapih. Lha wong ibunya sendiri aja belum ikhlas.
Gimana dengan cara pisah bobo’? Beberapa kali
saya terapkan, Saya tidur di kamar lain, Danisa tidur sama bapaknya. Tapi
seringnya cara ini tidak berhasil. Bukan Danisa-nya yang tidak berhasil, tapi
bapaknya lah yang bermasalah hehehehe..
Kebiasaaan Danisa kalo sama saya, nyusu trus
langsung tidur. Nah ini karena ditemenin bapak, maka tentu perhatiannya beralih
ke kegiatan lain. Ya main dulu di tempat tidur, ngajak ngobrol bapaknya, dan
sebagainya. Nah, ini bapaknya yang nggak kuat. Ngantuk duluan sedangkan si bocah
baterenya masih nyala aja. Kalo udah gini, ya gitu. Nyerah trus ujung-ujungnya
Danisa bobo’ lagi sama saya.
Saya nggak mau memaksa suami pakai cara ini.
Saya sadar ia capek sekali pulang kantor. Tapi, saya akan mencak-mencak kalo ia
mulai putus asa dengan kondisi Danisa yang suka 'sakaw' dan bilang: udah..di’obat’in
aja…
Heran. Padahal udah dikasih penjelasan panjang
lebar tetep aja ngusulin pake diobatin…
Kalo metode hipnoterapi, saya suka nggak konsisten melakukannya. Sehari dua hari konsisten, besoknya nggak.. Lebih asik twitteran sambil nyusuin Danisa sih, hehe..
Lalu, jika saya perhatikan, dari waktu ke waktu,
porsi makan Danisa semakin banyak. Permintaan Danisa akan menyusu juga semakin
sedikit dan waktunya juga semakin singkat. Akhir pekan, Danisa nginep di rumah
mbah kakung. Kalo udah disana, lupa deh dia sama saya. Nah, kalo besoknya saya
jemput, inget lagi dia sama nyonyok-nya, heheheheh..
Tapi lama-kelamaan, pikiran dan perhatian
Danisa sudah mulai teralih ke hal-hal lain. Ia lebih tertarik bermain, ngemil, berantakin
peralatan dapur, dan niru-niru praktek a la hijabers, lol.
Sampai suatu hari, adik saya Erlin harus opname
dan ibu bapak lagi pergi ke Jogja. Otomatis saya dan bapaknya Danisa yang
mengurus Erlin. Karena Danisa tidak mungkin berada di lingkungan rumah sakit
dalam jangka waktu lama, maka ia tidur di rumah dengan adik saya yang lain,
Endang.
Saya terharu waktu saya mengetahui Danisa
(akhirnya) bisa tidur tanpa rewel mencari saya.
Setelah itu, saya semakin mantap menyapih Danisa.
Jika ia minta menyusu (ini terjadi kalo dia sudah bosan nggak ada yang
dikerjain), saya alihkan perhatiannya dengan permainan baru, bercerita dengan
seru, buka-buka buku, memuji bahwa dia hebat bisa pergi beli es krim nggak pake digendong, atau makan makanan kesukaannya. Saat menjelang tidur,
sekarang Danisa minta diceritain dulu, dipijit, dielus, dipeluk. Tidur deh dia.
Alhamdulillahirobbil’alamin, sukses..
Saat usia Danisa menginjak 2 tahun 11 bulan…
Hampir 3 tahun…. :’)
Kiri: Danisa waktu lahir. Kanan: Maen aer sama bapak, 2 tahun 11 bulan :)) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar