Tulisan ini merupakan tulisan saya yang saya ikutsertakan dalam event Lomba Menulis "Bangga Menjadi Orang NTB" Desember 2011 kemarin. Saya bela-belain nyuri waktu nongkrong di depan laptop buat nulis waktu kegiatan Lomba Balita Sejahtera Indonesia Kota Mataram di aula lantai III kantor walikota.
Tapi, nggak menang..nggak masuk nominasi juga...
Hiks.
Mungkin karena tulisan yang saya buat ini melenceng dari tema..
Yasudlah..daripada tulisannya mubazir nggak kesebar, saya post disini deh...
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ―Pramoedya Ananta Toer
Senin, 21 Mei 2012
Senin, 07 Mei 2012
Curhat Petugas Promkes (#1)
Kenapa judul ini saya kasih tanda #1? Soalnya saya punya bayangan, mungkin suatu saat nanti saya akan curhat lagi. Nah, curhat yang berikutnya akan saya beri tanda #2, dan seterusnya....
Jumat sore, 4 Mei kemarin, saya datang ke acara peluncuran posyandu karang lansia Aisiyah di lingkungan Presak Barat, kelurahan Pagutan. Sebenernya yang diundang Kepala Puskesmas, tapi Bu dokter menugaskan saya. Sebenernya juga ada petugas pembina posyandu karang lansia, tapi berhubung anaknya lagi sakit, jatuhlah tugas menghadiri itu pada saya. Kegiatan peluncuran posyandu karang lansia ini dilaksanakan di TPA Hidayatul Mustakim, yang terletak di tengah perkampungan padat penduduk.
Sore itu, kegiatan posyandu karang lansia diisi terlebih dahulu dengan ceramah dari salah satu pengurus Aisiyah Kota Mataram. Isi ceramah tersebut adalah pentingnya menjaga kesehatan dalam pandangan Islam. Kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan untuk para lansia. Tenaga kesehatan (dokter, perawat), obat-obatan, serta konsumsi seluruh peserta yang yang hadir dalam acara tersebut, disediakan oleh Aisiyah.
Sebelumnya, saya sudah menduga posyandu karang lansia ini didukung oleh Aisiyah, organisasi wanita milik Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat besar di Indonesia. Buat saya seorang petugas promkes, saya tidak ambil pusing tentang apa dan siapa yang berada di balik sebuah upaya kesehatan yang bersumberdaya dari masyarakat itu sendiri. Asal mereka melakukan upaya promotif, preventif, bahkan kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan kaidah kesehatan itu sendiri, promosi kesehatan tentu dengan senang hati menerimanya. Bukankah itu berarti bagus, ada upaya mandiri dari kelompok masyarakat untuk berbuat atau bertindak dalam hal kesehatan tanpa meminta bantuan pemerintah (dalam hal ini puskesmas). Itu karena mereka mandiri.
Namun, pemikiran saya ini sepertinya kurang sejalan dengan petugas pemegang program karang lansia. Awalnya saya bercerita tentang kegiatan sore itu dan masukan-masukan yang diberikan dr.Wiwin, dokter yang bertugas di posyandu karang lansia. Menurut teman sejawat saya ini, bahwa menurut Dinas Kesehatan, penamaan posyandu karang lansia tidak boleh menggunakan nama organisasi. Pakai nama lingkungannya saja.
Kening saya langsung berkerut. Kenapa tidak boleh? Apa karena takut posyandu karang lansia ini akan dikait-kaitkan dengan kegiatan politik ormas yang bersangkutan? Malah ada pula yang mengkhawatirkan nanti timbul friksi antar ormas, mengingat tidak jauh dari sana ada ponpes yang digawangi oleh NU. Terus terang saya gregetan. Jauh banget sik mikirnya. Udah jauh, negatipppp lagi. Menurut saya, kenapa mesti mengkhawatirkan timbulnya friksi sih?? Bukankah kesehatan adalah hak dan kewajiban setiap orang, tanpa memandang suku, agama, ras, bahkan urusan politik? Bukankah kesehatan adalah wilayah netral? Bahkan jika ada FPI -ormas yang saat ini dimusuhi banyak orang- ada di belakang upaya kesehatan mandiri tersebut, instansi kesehatan tidak boleh meng-anaktiri-kan upaya kesehatan mandiri dari masyarakat tersebut.
Sebagai seorang abdi negara yang bertugas di bidang kesehatan, menurut saya -sekali lagi menurut saya-, kita tidak usah dan tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut. Jalankan saja tugas kita sebagai seorang tenaga kesehatan yang berniat melayani masyarakat luas. Syukur-syukur to, ada kelompok masyarakat yang mau mendukung kegiatan posyandu karang lansia ini. Hal ini langka saya temukan, disaat masyarakat tengah berada dalam era yang selalu mendengung-dengungkan, " mana bantuan pemerintah, mana perhatian pemerintah?".
Adanya tenaga dokter, perawat, dan obat-obatan yang seluruhnya disediakan oleh Aisiyah juga saya apresiasi dengan sepenuh hati. Saya tidak setuju jika ada yang berpikiran: Jika semua sudah disediakan, terus apa fungsi petugas dari puskesmas disana?
Kalau saya, jika ada orang lain yang mengerjakan tugas saya, saya tentu merasa terbantu. Jika merasa terbantu, sudah sepatutnya saya berterima kasih. Ternyata saya tidak sendirian dalam melayani masyarakat. Selanjutnya, saya pribadi (ini menurut pendapat saya pribadi loh ya) akan merasa sangat malu jika saya tidak turut berperan serta dalam kegiatan tersebut. Masak sih petugas pemegang programnya nggak tau bahwa ada kegiatan di masyarakat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi/job description) nya? Saya adalah pegawai negeri sipil, bagian dari pemerintah dan tentu membawa nama institusi pemerintah. Ke-tidakikutserta-an saya bisa-bisa dianggap sebagai lepas tangan pemerintah.
Berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat seringkali membuat pemikiran saya bentrok dengan pemikiran mayoritas teman-teman sejawat. Jika melakukan penyuluhan, sebagian besar sasaran penyuluhan pasti meminta waktu sore atau malam hari, sama seperti kegiatan posyandu karang lansia Aisiyah ini. Pada waktu itulah mereka memiliki waktu luang. Sama halnya seperti saya, pagi dan siang hari mereka sibuk bekerja atau sibuk dengan urusan domestik di rumah.
Jadilah saya melakukan penyuluhan di luar jam dinas kantor. Saya ras tidak pas jika saya meminta masyarakat untuk mengikuti jam kerja saya. Bukankah saya juga ingin agar informasi kesehatan juga menyebar pada kelompok potensial? Bagaimana jika kelompok potensial tersebut memiliki waktu luang yang berbeda dengan jam dinas saya? Apakah baik jika meminta mereka ikut kegiatan penyuluhan dengan mengikuti jam dinas saya?
Sebenernya tidak pas juga sih. Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat adalah subyek. Yang menentukan. Yang membuat pilihan. Bukan sebagai obyek. Lihat sendiri kan bagaimana jam kerja mereka yang bekerja sebagai fasilitator, entah di LSM atau badan pemberdayaan masyarakat. Kalau saya, asal tidak lewat dari jam 8 malam, saya mau datang memberi pesan kesehatan pada masyarakat. Tapi bukan berarti saya rajin penyuluhan malem kok. Kalau waktunya sore hari, insyaAllah saya masih bisa. Sejak ada Danisa, saya sering menolak untuk penyuluhan di malam hari. Tunggu anak saya agak gedean dikit ya, begitu saja yang saya katakan jika ada masyarakat yang meminta penyuluhan malam hari.
Hanya segelintir teman sejawat yang mau diajak kerja datang ke masyarakat pada waktu sore atau malam hari. Sebagian dari mereka berdalih: kita sudah capek kerja pagi sampe siang, masak mau kerja sore/malem lagi. Belum lagi ngurus rumah sama anak-anak.
Dalam hati, saya teriris...
Saya membayangkan teman-teman LSM yang tanpa lelah memfasilitasi masyarakat. Saya membayangkan teman-teman yang bekerja sebagai sales, berkeliling dari rumah ke rumah, mengetuk pintu yang satu ke pintu yang lain. Tidak jarang mereka diterima dengan muka dan jawaban yang ketus.
Astaghfirullah, sungguh tidak bersyukurnya sebagai seorang pegawai negeri sipil yang tenang tiap tanggal 1 dipastikan dapet gaji.
Semoga saya selalu diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah swt untuk menjalankan tugas sebagai petugas promkes dengan sebaik-baiknya. Amiiiiiinnnn..
Note: Ngomong-ngomong tentang penerimaan yang ketus, saya jadi ingat betapa marahnya salah seorang teman sejawat yang dicuekin masyarakat waktu melakukan kunjungan rumah. "Apa coba pikirannya? Kita ini petugas puskesmas, dari pemerintah. Kok dicuekin?!". Dalem hati saya ketawa: "Ya emang kenapa kalo kita petugas puskesmas? Masyarakat harus sungkem gitu tiap kita dateng ke rumahnya?"
Jumat sore, 4 Mei kemarin, saya datang ke acara peluncuran posyandu karang lansia Aisiyah di lingkungan Presak Barat, kelurahan Pagutan. Sebenernya yang diundang Kepala Puskesmas, tapi Bu dokter menugaskan saya. Sebenernya juga ada petugas pembina posyandu karang lansia, tapi berhubung anaknya lagi sakit, jatuhlah tugas menghadiri itu pada saya. Kegiatan peluncuran posyandu karang lansia ini dilaksanakan di TPA Hidayatul Mustakim, yang terletak di tengah perkampungan padat penduduk.
Sore itu, kegiatan posyandu karang lansia diisi terlebih dahulu dengan ceramah dari salah satu pengurus Aisiyah Kota Mataram. Isi ceramah tersebut adalah pentingnya menjaga kesehatan dalam pandangan Islam. Kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan untuk para lansia. Tenaga kesehatan (dokter, perawat), obat-obatan, serta konsumsi seluruh peserta yang yang hadir dalam acara tersebut, disediakan oleh Aisiyah.
Sebelumnya, saya sudah menduga posyandu karang lansia ini didukung oleh Aisiyah, organisasi wanita milik Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat besar di Indonesia. Buat saya seorang petugas promkes, saya tidak ambil pusing tentang apa dan siapa yang berada di balik sebuah upaya kesehatan yang bersumberdaya dari masyarakat itu sendiri. Asal mereka melakukan upaya promotif, preventif, bahkan kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan kaidah kesehatan itu sendiri, promosi kesehatan tentu dengan senang hati menerimanya. Bukankah itu berarti bagus, ada upaya mandiri dari kelompok masyarakat untuk berbuat atau bertindak dalam hal kesehatan tanpa meminta bantuan pemerintah (dalam hal ini puskesmas). Itu karena mereka mandiri.
Namun, pemikiran saya ini sepertinya kurang sejalan dengan petugas pemegang program karang lansia. Awalnya saya bercerita tentang kegiatan sore itu dan masukan-masukan yang diberikan dr.Wiwin, dokter yang bertugas di posyandu karang lansia. Menurut teman sejawat saya ini, bahwa menurut Dinas Kesehatan, penamaan posyandu karang lansia tidak boleh menggunakan nama organisasi. Pakai nama lingkungannya saja.
Kening saya langsung berkerut. Kenapa tidak boleh? Apa karena takut posyandu karang lansia ini akan dikait-kaitkan dengan kegiatan politik ormas yang bersangkutan? Malah ada pula yang mengkhawatirkan nanti timbul friksi antar ormas, mengingat tidak jauh dari sana ada ponpes yang digawangi oleh NU. Terus terang saya gregetan. Jauh banget sik mikirnya. Udah jauh, negatipppp lagi. Menurut saya, kenapa mesti mengkhawatirkan timbulnya friksi sih?? Bukankah kesehatan adalah hak dan kewajiban setiap orang, tanpa memandang suku, agama, ras, bahkan urusan politik? Bukankah kesehatan adalah wilayah netral? Bahkan jika ada FPI -ormas yang saat ini dimusuhi banyak orang- ada di belakang upaya kesehatan mandiri tersebut, instansi kesehatan tidak boleh meng-anaktiri-kan upaya kesehatan mandiri dari masyarakat tersebut.
Sebagai seorang abdi negara yang bertugas di bidang kesehatan, menurut saya -sekali lagi menurut saya-, kita tidak usah dan tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut. Jalankan saja tugas kita sebagai seorang tenaga kesehatan yang berniat melayani masyarakat luas. Syukur-syukur to, ada kelompok masyarakat yang mau mendukung kegiatan posyandu karang lansia ini. Hal ini langka saya temukan, disaat masyarakat tengah berada dalam era yang selalu mendengung-dengungkan, " mana bantuan pemerintah, mana perhatian pemerintah?".
Adanya tenaga dokter, perawat, dan obat-obatan yang seluruhnya disediakan oleh Aisiyah juga saya apresiasi dengan sepenuh hati. Saya tidak setuju jika ada yang berpikiran: Jika semua sudah disediakan, terus apa fungsi petugas dari puskesmas disana?
Kalau saya, jika ada orang lain yang mengerjakan tugas saya, saya tentu merasa terbantu. Jika merasa terbantu, sudah sepatutnya saya berterima kasih. Ternyata saya tidak sendirian dalam melayani masyarakat. Selanjutnya, saya pribadi (ini menurut pendapat saya pribadi loh ya) akan merasa sangat malu jika saya tidak turut berperan serta dalam kegiatan tersebut. Masak sih petugas pemegang programnya nggak tau bahwa ada kegiatan di masyarakat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi/job description) nya? Saya adalah pegawai negeri sipil, bagian dari pemerintah dan tentu membawa nama institusi pemerintah. Ke-tidakikutserta-an saya bisa-bisa dianggap sebagai lepas tangan pemerintah.
Berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat seringkali membuat pemikiran saya bentrok dengan pemikiran mayoritas teman-teman sejawat. Jika melakukan penyuluhan, sebagian besar sasaran penyuluhan pasti meminta waktu sore atau malam hari, sama seperti kegiatan posyandu karang lansia Aisiyah ini. Pada waktu itulah mereka memiliki waktu luang. Sama halnya seperti saya, pagi dan siang hari mereka sibuk bekerja atau sibuk dengan urusan domestik di rumah.
Jadilah saya melakukan penyuluhan di luar jam dinas kantor. Saya ras tidak pas jika saya meminta masyarakat untuk mengikuti jam kerja saya. Bukankah saya juga ingin agar informasi kesehatan juga menyebar pada kelompok potensial? Bagaimana jika kelompok potensial tersebut memiliki waktu luang yang berbeda dengan jam dinas saya? Apakah baik jika meminta mereka ikut kegiatan penyuluhan dengan mengikuti jam dinas saya?
Sebenernya tidak pas juga sih. Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat adalah subyek. Yang menentukan. Yang membuat pilihan. Bukan sebagai obyek. Lihat sendiri kan bagaimana jam kerja mereka yang bekerja sebagai fasilitator, entah di LSM atau badan pemberdayaan masyarakat. Kalau saya, asal tidak lewat dari jam 8 malam, saya mau datang memberi pesan kesehatan pada masyarakat. Tapi bukan berarti saya rajin penyuluhan malem kok. Kalau waktunya sore hari, insyaAllah saya masih bisa. Sejak ada Danisa, saya sering menolak untuk penyuluhan di malam hari. Tunggu anak saya agak gedean dikit ya, begitu saja yang saya katakan jika ada masyarakat yang meminta penyuluhan malam hari.
Hanya segelintir teman sejawat yang mau diajak kerja datang ke masyarakat pada waktu sore atau malam hari. Sebagian dari mereka berdalih: kita sudah capek kerja pagi sampe siang, masak mau kerja sore/malem lagi. Belum lagi ngurus rumah sama anak-anak.
Dalam hati, saya teriris...
Saya membayangkan teman-teman LSM yang tanpa lelah memfasilitasi masyarakat. Saya membayangkan teman-teman yang bekerja sebagai sales, berkeliling dari rumah ke rumah, mengetuk pintu yang satu ke pintu yang lain. Tidak jarang mereka diterima dengan muka dan jawaban yang ketus.
Astaghfirullah, sungguh tidak bersyukurnya sebagai seorang pegawai negeri sipil yang tenang tiap tanggal 1 dipastikan dapet gaji.
Semoga saya selalu diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah swt untuk menjalankan tugas sebagai petugas promkes dengan sebaik-baiknya. Amiiiiiinnnn..
Note: Ngomong-ngomong tentang penerimaan yang ketus, saya jadi ingat betapa marahnya salah seorang teman sejawat yang dicuekin masyarakat waktu melakukan kunjungan rumah. "Apa coba pikirannya? Kita ini petugas puskesmas, dari pemerintah. Kok dicuekin?!". Dalem hati saya ketawa: "Ya emang kenapa kalo kita petugas puskesmas? Masyarakat harus sungkem gitu tiap kita dateng ke rumahnya?"
Langganan:
Postingan (Atom)