Lebaran tahun ini cukup berbeda. Kali ini tidak ada Mbah Uti, mbah kandung terakhir yang saya miliki. Mbah Uti sudah menghadap ke pangkuan Sang Pemilik Hidup bulan Maret lalu. Setelah Mbah Kakung (mbah dari Bapak) meninggal dunia pada tahun 1999, kemudian disusul Mbah Uti (ibu dari Bapak) pada tahun 2006, kemudian Mbah Anang (mbah dari Ibu) tahun 2007, dan terakhir Mbah Uti (mbah dari Ibu).
Jika orangtua sudah tidak ada, maka akan lebih sulit untuk mengumpulkan para saudara dan anak cucu.
Yah, memang benar.
Tapi memang seperti itu putaran hidup, bukan? Yang saat ini berperan sebagai anak, di masa depan akan berganti peran menjadi orang tua. Begitu seterusnya.
Maka dari itu, daripada sedih memikirkan bahwa saya kini tidak punya mbah lagi, saya bersyukur Lebaran tahun ini semua adik berkumpul lengkap. Tahun lalu, Esthi menghabiskan Idul Fitri di Samarinda bersama suami.
Bagi Bapak dan Ibu saya, tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat anak-anaknya bisa berkumpul kembali. Setelah saya dan Esthi menikah dan punya kehidupan keluarga sendiri, Adi kuliah di Malang, otomatis cuma tersisa 2 orang adik saya di rumah. Kondisi itu menimbulkan sedikit shock, terutama buat Ibu. Ibu yang terbiasa dengan suasana rumah yang ramai (apalagi waktu saya, kakak, dan Danisa masih tinggal disana) tiba-tiba harus menghadapi sepi dan kamar yang tak lagi dihuni.
Lebaran dan semua anaknya bisa berkumpul? Wah, nggak tau gimana senengnya hati Ibu saya :)
Saat Lebaran, keluarga saya memiliki ritual berkunjung ke rumah keluarga yang lain. Dulu, waktu masih menghabiskan Lebaran hari pertama di rumah Mbah Kakung di Praya, setelah sarapan beramai-ramai (bayangkan Bapak dan 7 orang adiknya beserta istri dan suami masing-masing ditambah anak-anak mereka yang jumlahnya lebih dari 10 orang itu) dengan menu opor ayam dan pelecingan ayam khas buatan Mbah Uti yang amat lezat, kami pasukan yang sarapan beramai-ramai tadi, berkeliling ke rumah saudara-saudara Mbah Kakung yang ada di Praya.
Buat saya yang saat itu masih kecil, pergi berkeliling silaturahim dengan pasukan satu keluarga adalah sangat menyenangkan. Saya bisa mengunjungi rumah yang baru saya lihat, bertemu dengan keluarga yang jarang saya temui, kepo dengan perabot apa yang ada di rumah tersebut, mencicipi kue dan minuman beramai-ramai, sekaligus bercanda dengan para sepupu.
Hal yang biasa saja sebenarnya.
Tapi sampai saat ini, kesan menyenangkan itu masih tertanam kuat di ingatan saya.
Ingatan itulah yang membawa cerita nostalgia kini. Waktu ngobrol-ngobrol dengan Bapak kemarin, saya dan Endang mengingat suasana di rumah Mbah Sum, bude-nya Bapak. Rumah Mbah Sum merupakan salah satu rumah yang wajib kami kunjungi. Endang mengingat rambut putih beliau. Saya membayangkan kembali rumah Mbah Sum yang sederhana namun sangat adem. Seperti film yang diputar, memori saya terbang ke kursi tamu yang terbuat dari jalinan tali hingga kembang sepatu yang tumbuh di halaman depan rumah Mbah Sum.
Belum lagi jika saya dan adik-adik mengingat memori bersama Mbah Kakung dan Mbah Uti di Praya. Kami akan saling bersahutan mengingat-ingat mudik H-1 ke Praya pakai mobil Merpati Putih, julukan buat mobil Daihatsu tua milik Bapak yang doyan mogok :D, Mbah Uti yang tidak tidur semalaman karena menyiapkan opor, pelecing ayam, dan kue-kue buat hidangan besok pagi.
Setelah sungkem, Mbah Kakung akan mengeluarkan senjata ampuh yang membuat semua cucu-nya bersorak. Apalagi kalo bukan SIM, istilah yang kami berikan untuk angpau pemberian Mbah Kakung. Dapet selembar Rp.1.000, - (seribu rupiah yeeee..) rasanya gembira tak terkira.
Di bagian lain, ada kenangan bersama Mbah Anang dan Mbah Uti di Kampung Melayu.
Mbah Anang membelikan cokelat merek Rocha dan cokelat berbentuk
kepingan uang logam khusus untuk cucu-cucunya. Buat para cucu yang emang
suka dibatesin jajan sama ortunya ini, cokelat-cokelat tadi sungguh lah
sebuah barang yang amat berharga.
Kenangan yang membuat saya bisa senyum-senyum sendiri...
Mungkin Mbah Anang nggak ngeh kalo cokelat-cokelat kecil yang ia sediakan khusus saat Lebaran akan jadi ingatan berkesan saat cucu-cucunya beranjak dewasa seperti sekarang.
Setelah heboh dengan cokelat dari Mbah Anang, para krucil akan diajak keliling silaturahim (lagi). Tradisi keluarga Ibu berkunjung ke rumah kerabat yang lain juga sama dengan tradisi di keluarga Bapak. Saya dan sepupu sih seneng-seneng aja. Yang penting buat para cucu-cucu ini, bisa kumpul bareng, taunya cuma ketawa-ketiwi, heboh kalo ada kue yang enaknya ngalahin rasa kue yang ada di rumah :D, atau malah sibuk foto-foto narsis. Nggak mikir lah ya itu cuaca panas, baju Lebaran yang mulai nggak nyaman, atau lelah karena sudah bangun dari subuh buta tadi.
Hingga kini, saya dan adik-adik meneruskan tradisi saling berkunjung ke rumah keluarga yang lain. Meskipun tiap Minggu kami bisa bertemu dengan pakde, bude, paklek, dan bulek, datang berkunjung ke rumah mereka saat Lebaran berbeda rasanya. Kami bisa bernostalgia mengingat masa kecil, saling bully, menggosip, bercerita tentang kegiatan kami kini, dan tertawa bersama :'). Bahkan jika antara orangtua sedang mengalami perang Palestina-Israel, kami para anak-anak tetap saling mengunjungi.
Suasana akrab berkumpul seperti saat Lebaran ini makin mengukuhkan bahwa kami adalah keluarga, terlebih keluarga yang diikat oleh darah. Kami juga pernah bertengkar, berselisih pendapat, bahkan sampai tidak berbicara satu sama lain. Tapi hal itu tidak melunturkan ikatan yang bernama keluarga.
Buat Danisa dan adik-adiknya kelak, momen berkumpul bersama ini mungkin juga akan membekas menjadi ingatan yang membahagiakan, sama halnya seperti saya yang selalu tersenyum sendiri jika mengingat keluarga dan memori yang mereka tinggalkan.
Sebagai bagian dari siklus hidup, selalu ada yang datang dan yang pergi. Akan tetapi keluarga adalah sebuah lingkaran yang tak terputus. Mereka akan selalu mengelilingi dan selalu berada di sisi kita.
“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching -- they are your family. ”
― Jim Butcher
Tidak ada komentar:
Posting Komentar