Alhamdulillah, tanggal 28 Februari kemarin saya telah resmi menikah. Status saya pun berubah menjadi seorang istri. Nggak kerasa juga sih, sudah 1 bulan lebih saya menyandang status baru. Tapi kadang masih suka lupa juga kalo udah jadi istri, misal kalo si kakak mau siap-siap berangkat ke kantor, saya suka lupa nyiapin "perkakas dalem"nya karena baru kemaren diangkat dari jemuran, hihihihi...
Kalo inget-inget udah 1 bulan menyandang status baru, saya ngerasa waktu 1 bulan kemaren seperti waktu sekejap mata aja. Saya suka nginget-inget hebohnya persiapan kami berdua, sibuknya keluarga besar, rentetan prosesi acara sebelum menikah, rumah yang mendadak jadi rame setiap hari (plus berantakan_setiap hari juga), semuanya berasa seperti kemarin..
Berhubung dalam keluarga saya anak pertama yang menikah dan di keluarga besar saya adalah cucu pertama yang menikah, persiapan keluarga lumayan banyak dan memakan waktu hampir 1 bulan penuh. Ibu dan bapak sangat menginginkan hajatan mereka yang pertama ini berlangsung dengan sebaik-baiknya. Karena baru pertama kali menikahkan anaknya, bapak dan ibu menjadi sangat repot dan memikirkan semua kemungkinan terburuk. Persediaan katering yang nggak cukup lah, jumlah undangan yang membengkak lah, semuanya dipikirkan dengan amat sangat matang (sampe terlalu matang, heheheh...). Ibu seringkali menghibur diri dengan mengatakan, "Kata orang-orang, emang persiapan nikah itu bikin pusing. Menikahkan untuk yang kesekian kali aja pusing, apalagi ibu yang baru pengalaman pertama".
Saya dan si kakak pun juga nggak kalah pusing dan capeknya. Keluarga sering "menasehati" dengan bilang, "Penganten nggak boleh capek. Udah nggak usah dipikir...Nanti mukanya nggak cling pas hari H..". Hmmmmmm.....tetep aja nggak bisa. Kalo menurut saya sih, yang namanya jadi penganten ya hukumnya fardhu 'ain untuk ikut capek dan pusing..
Memang banyak yang bilang nikah ngapain sih ribet-ribet. Tapi kayaknya kalo mau mengadakan acara nikah itu emang ribet deh. Mau acaranya besar kek, kecil kek, mau acaranya di rumah, di gedung, di halaman kantor desa, di hotel, di lapangan bola, semuanya identik dengan satu kita:
R I B E T.
Saya dan si kakak sebenernya pengen yang biasa-biasa aja. Misal barang-barang yang dibawa waktu seserahan nggak usah terlalu bersifat "printil-printil". Yang inti aja yang dibawa. Kami juga berniat kamar pengantin nggak usah dihias segala. Taaapiiiiiiiiii.... nggak bisa kayak gitu. Emang sih ini acara kami. Lha iya kan, kan kami yang menikah. Namun...kenyataan berkata lain..
Beberapa hari sebelum hari pernikahan, saya diberikan aturan satu-satunnya yang harus diikuti oleh calon pengantin. Aturan ini diberikan oleh mbah sambil memberi saya wejangan: Aturan untuk calon pengantin adalah MENURUTI APAPUN YANG DIKATAKAN KELUARGA. Jadi, kalo keluarga bilang jalan, ya kami harus jalan. Keluarga memerintahkan berhenti, kami berhenti. Keluarga menyuruh tiarap, kami pun tiarap. Begitulah..akhirnya saya (yang memang keras kepala) akhirnya menurut. Karena aturan itu, saya yang semula nggak mau pake pancar di tangan, akhirnya mau..
Memang semua persiapan dan rangkaian prosesi acara sangat menguras energi dan pikiran. Beberapa hari sebelum hari H pun, bapak saya terserang flu berat dan bertambah parah waktu hari H. Tapi ya itu lah, tidak ada yang sempurna. Sebaik apapun kita menyiapkan acara, dari yang paling kecil sampai hal besar, pasti ada kekurangan di sana-sini. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha agar semua acara berjalan dengan lancar.
Saya bahkan nggak menyangka acara akad nikah yang direncanakan akan berlangsung selama 2 jam, bisa selesai dengan baik dan lancar hanya dalam waktu 30 menit. Tapi yaaaaa.... ada kekurangannya juga sih.. Makanannya kurang memuaskan dan dekorasi jauh dari harapan. Padahal kami semua berkonsentrasi penuh di sektor ini. Lagi-lagi orangtua saya menghibur diri, "Udah lah...ini jadi pengalaman.. Masih ada 4 lagi yang belum nikah..". Maksudnya adek-adek saya..hehehehe...
Alhamdulillah selama rangkaian prosesi acara sampai selesai, saya dan si kakak, ibu juga, beserta keluarga besar lain sehat wal'afiat. Kecuali bapak yang terserang flu berat. Kata orang yang bilang nanti kaki saya bakal pegel-pegel sampe betis berasa segede galon, juga nggak terlalu saya rasakan. Ya emang pegel, tapi masih bisa ditoleransi kok...
Calon pengantin emang harus capek, pusing, maunya marah-marah terus, bahkan pengen nangis saking stres-nya, wajar... Tapi, jangan sampai kita nggak menikmati semua proses itu.. Nikmati aja rasa capek, pusing, marah, dan stres itu.. Toh ketika semua prosesi acara pernikahan sudah selesai, kita beserta pasangan dan keluarga akan senyum-senyum sendiri mengingat semuanya. Inget hebohnya (adek-adek saya yang perempuan cerita bagaimana hebohnya mereka yang sudah cantik dengan kebaya, jilbab cantik, dan make up, harus rela mengangkat gulungan karpet yang akan dipakai untuk akad nikah, hehehehe..), inget ribetnya, inget lucunya (kalo yang ini, para bibi dari keluarga besar si kakak ngambek gara-gara mereka nggak dirias seperti yang lain yang masih muda-muda, hihihihi..), inget capeknya..semuanya...
Akhirnya, semua rasa itu akan menjadi cerita manis yang akan kita ceritakan kembali...