Minggu, 03 Februari 2008

Sukses

(Tulisan ini terinspirasi dari kolom Parodi di Harian Kompas edisi Minggu, 20 Januari 2008, dengan judul Sukses oleh Samuel Mulia)

Sukses (ala susu untuk balita) = bintang kelas, scientificaholic, cepat dan tanggap menyelesaikan masalah.

Beberapa bulan belakangan, saya suka mengamati iklan susu untuk balita dan anak-anak yang muncul di televise. Dalam tayangan iklan yang berdurasi rata-rata 10 detik itu, pesan inti yang ingin disampaikan adalah:

Jika anak Anda minum susu ini, maka kecerdasan anak Anda akan tiada duanya, kemampuan otaknya akan mencapai level platinum, ia akan menjadi anak kebanggaan orangtua, ia akan menjadi teman yang baik bagi teman-temannya.

Yah, kira-kira seperti itulah….

Dalam tayangan iklan, terkadang digambarkan bahwa sang anak yang mengkonsumsi susu tersebut, menjadi seorang juara. Entah juara kelas, juara perlombaan lari, atau juara merangkai robot. Hampir tidak ada iklan susu yang menggambarkan sang anak akan menjadi juara makan kerupuk atau juara panjat pinang. Padahal lomba makan kerupuk dan panjat pinang juga butuh strategi khusus yang dipikirkan dengan matang untuk memenangkannya.

Selain menjadi juara, efek samping yang dihasilkan karena mengkonsumsi susu yang diiklankan adalah sang anak dapat memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan pengalaman yang diingatnya. Anak dapat mengatasi kekurangan cat berwarna hijau dengan cara mencampur cat kuning dengan cat biru. Anak digambarkan juga dapat mengeluarkan bola kecil dari dalam gentong dengan car mengisi gentong tersebut dengan air.

Memang luar biasa kemampuan susu tersebut. Anak sekecil itu sudah bisa mengatasi masalahnya sendiri. Bagus juga sebenarnya, anak digambarkan berkembang dengan kreatif dan mandiri. Untung aja nggak digambarkan dengan meminum susu tersebut, anak dapat menyelamatkan rumah tangga orangtuanya yang diambang perceraian. Hebat nian kalau begitu.

Selain itu, dampak yang diiklankan dalam produk susu adalah anak akan berkembang menjadi seseorang yang scientificaholic dan gaul banget dengan globalisasi. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap dari sebuah iklan susu yang muncul di awal tahun 2008 ini. Disitu digambarkan bahwa di masa depan, anak tersebut bersekolah dengan para bule dan teman-temannya yang berasal dari belahan dunia lain. Dia juga sudah menggunakan teropong bintang dan dikelilingi oleh laboratorium super canggih. Ia berada dalam lingkungan sekolah yang elit, serba cling, futuristik, dan tentu saja “ wah “.

Nggak ada iklan susu yang memberi citra sang anak di masa depan akan sukses dengan menjadi pesinden seperti Peni Candra Rini. Peni, yang saat ini berusia 24 tahun juga mengambil jurusan karawitan sewaktu SMA dan perguruan tinggi. Karena menyanyikan langgam Jawa Kuno itulah, Peni dapat berkeliling ke berbagai negara.

Nggak ada juga, iklan susu yang memberi gambaran bahwa di masa depan sang anak akan sukses dengan jalan menjadi pelawak, seperti Tukul.

Apalagi mau digambarkan menjadi seorang Osamah bin Laden, yang hingga detik ini Paman Bush belum berhasil menangkapnya. Saya juga ragu, apakah FBI atau CIA pernah melihat sosok Osamah, meskipun cuma batang hidungnya. Hmmm… kalau begitu Osamah memang hebat. Cerdas bukan buatan.

Sukses = menjadi pegawai (baca: PNS)

Saya waktu itu tidak sengaja mendengar obrolan sekumpulan ibu dan bapak. Mereka sepertinya tengah asyik membicarakan seorang kenalan mereka.

“Bayangin, rumahnya aja ada 14 biji. Semua dikontra kin.”
“ Udah naik haji 2 kali juga. Malah sekarang dia berencana mau nambah rumah lagi.”
…….
“ Alah..tapi liat tuh anak-anaknya. Nggak ada satu-satu yang jadi pegawai..”

Mendengar kalimat terakhir, saya langsung miris. Sepertinya dengan menjadi pegawai, maka kesuksesan niscaya berada dalam genggaman dan masa depan yang indah rupawan gilang gemilang, sudah pasti di pelupuk mata.

Memang, di NTB dengan sektor swasta yang belum berkembang, menjadi seorang pegawai adalah jaminan masa depan. Sektor swasta masih dianggap oleh mayoritas masyarakat NTB sebagai tempat untuk berkarier yang tidak menjanjikan, tidak pasti, tidak jelas, kalau boleh dibilang kelas “ecek-ecek”.

Paradigma inilah yang membawa iklim tidak sehat bagi pola pikir sebagian besar orang tua di NTB tentang masa depan anaknya. Terkadang, mereka sampai rela menempuh jalan pintas demi sang anak menjadi pegawai. Mereka, para orangtua, cenderung belum siap melepas anaknya untuk menikah jika masih bekerja di sektor swasta.

Sampai di titik ini, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri: Sukses menurutmu apa Er?