Kamis, 25 Desember 2014

Teladan, Semangat, dan Dukungan untuk Cuci Tangan Pakai Sabun

Pagi itu, suasana di SDN 47 Cakranegara tampak ramai. Saya dan teman-teman mahasiswa dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Al Azhar (Unizar) Mataram sampai di sekolah pada jam istirahat. Kami akan melaksanakan penyuluhan cuci tangan pakai sabun di sekolah dasar tersebut. Kegiatan penyuluhan ini merupakan puncak kegiatan praktek lapangan mahasiswa semester 6 FK Unizar di wilayah puskesmas tempat saya bekerja.

Sebelum kegiatan penyuluhan ini, teman-teman mahasiswa melakukan kajian perilaku sehat di salah satu wilayah kelurahan yang dinilai memiliki paling banyak masalah kesehatan. Berdasarkan hasil kajian mereka, perilaku cuci tangan pakai sabun masih banyak belum dilakukan oleh masyarakat di kelurahan Sayang-sayang.
Bagi puskesmas, kelurahan Sayang-sayang merupakan wilayah dengan kondisi sanitasi yang tidak sebaik wilayah lain. Kondisi sanitasi tersebut juga diikuti dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang masih rendah, termasuk perilaku cuci tangan pakai sabun.

Teman-teman mahasiswa FK Unizar kemudian memprioritaskan sasaran kegiatan intervensi pada siswa sekolah dasar. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan mengalami resiko masalah kesehatan akibat kondisi sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk. Jika sejak usia dini mereka sudah dikenalkan pada perilaku hidup sehat, maka besar harapan generasi mendatang akan memiliki budaya hidup bersih dan sehat pula.


14194173451496721619
foto: dok.pribadi


Dalam kegiatan penyuluhan, mahasiswa FK Unizar juga mendemonstrasikan cara cuci tangan pakai sabun yang baik dan benar kepada para siswa. Demonstrasi ini dilanjutkan dengan praktek bersama cuci tangan pakai sabun menggunakan gentong air sumbangan para mahasiswa.


1419416980125112451
foto: dok.pribadi


————–

Setelah beberapa bulan berlalu, saya kembali berkunjung ke sekolah dasar tersebut. Sebagai bagian dari wilayah kerja puskesmas, saya melakukan kegiatan pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat secara rutin di sekolah. Saya melihat gentong-gontong air sumbangan mahasiswa FK Unizar teronggok begitu saja di halaman, seperti tidak pernah difungsikan lagi. Tidak seperti waktu demonstrasi cuci tangan bersama dulu, gentong-gentong itu berjejer rapi di depan kelas.

Waktu saya bertanya kenapa tidak menggunakannya, pihak sekolah menjawab jika gentong itu diisi maka para siswa akan menggunakannya untuk bermain-main sehingga membuat becek teras sekolah.

Saya hanya terdiam mendengar jawaban pihak sekolah. Di satu sisi, sebagai petugas dari puskesmas saya wajib untuk memberi saran agar gentong-gentong air itu difungsikan kembali. Tujuannya untuk memfasilitasi siswa agar dapat melakukan cuci tangan pakai sabun. Tapi di sisi lain, saya maklum dengan kondisi sekolah.

Sekolah dasar tersebut berada di wilayah dengan karakteristik masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan golongan ekonomi menengah ke bawah. Anak-anak di sekolah itu mungkin sama dengan anak-anak lain yang senang bermain air. Masalah lain adalah mereka lebih sulit untuk diajak tertib.

Jadi, daripada kondisi halaman sekolah menjadi becek danberantakan gara-gara para siswa asyik bermain air, pihak sekolah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan gentong air hasil sumbangan tersebut.

———————

Cuci tangan dengan sabun seringkali dianggap sebagai perilaku sepele. Padahal, dengan menjadikan perilaku ini sebagai sebuah kebiasaan, manfaatnya besar sekali untuk mencegah terjadinya penyakit, terutama penyakit infeksi pada anak-anak seperti diare. Terjadinya penyakit infeksi pada anak dapat menjadi beban bagi orangtua (sumber: disini)

Saya kemudian berkaca pada diri sendiri. Sebagai seorang petugas kesehatan, tentu saya paham betul manfaat dari menerapkan cuci tangan pakai sabun sebagai sebuah budaya hidup sehari-hari. Oleh karena itu, saya berusaha agar perilaku tersebut menjadi kebiasaan saya dan keluarga sehari-hari di rumah, termasuk pada putri saya yang masih berusia balita.

Perubahan tentu dimulai dari diri sendiri, bukan?

Setiap menjelang waktu makan, saya mengajak balita saya untuk bersama-sama mencuci tangan pakai sabun.Saya mengenalkan cara mencuci tangan pakai sabun yang benar.

Namanya anak-anak, tentu senang diajak ‘main air’. Sebenarnya, jika orangtua mau berpikir dengan positif, senang main air ini adalah pintu masuk yang bagus untuk mengenalkan anak pada perilaku cuci tangan pakai sabun. Apalagi ditambah mereka bisa bermain-main dengan busa sabunnya.

Cuma, yaaa.. itu. 

Sebagai seseorang yang sudah jauh lebih tua dibandingkan anak-anak, saya seringkali tidak sabar melihat tingkah putri saya. Dalam benaknya, tentu putri saya senang berlama-lama bermain dengan air wastafel. Kadang diselingi dengan memutar-mutar kran wastafel (ia takjub melihat air bisa mengalir dengan cara memutar-mutar kran), meminta sabun lebih banyak (sepertinya anak saya senang melihat cara kerja botol sabun cuci tangan, dipencet eh sabunnya keluar), atau malah sambil nyerocos bertanya ini itu.

“Kenapa kita cuci tangan bu?”
“Yang mana nama jempol?”
“Sabunnya rasa apa ini bu?”

GRRRRRRRRRRRRRR….!!

Kalau stok sabar tengah menipis (ditambah perut bernyanyi-nyanyi karena lapar), saya malah jadi ‘mengacaukan’ acara perkenalan cuci tangan pakai sabun itu.

“Ayo, cepetan cuci tangannya.”, disertai dengan nada tidak sabar.

Ah, bisa jadi anak saya berpikir: cuci tangan pakai sabun nggak asik karena ibunya kok malah emosi.

——

Menurut H.L.Blum (1974), derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetika. Lalu dari keempat faktor tersebut, masih menurut H.L.Blum, lingkungan adalah faktor yang paling besar menjadi penentu dibanding faktor yang lain. Lingkungan bukan hanya lingkungan fisik seperti sarana dan prasarana, tetapi juga termasuk lingkungan kimia, lingkungan biologi, lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Selain sarana cuci tangan yang sudah tersedia, lingkungan sosial menjadi penentu proses pengenalan perilaku. Lingkungan sosial tersebut adalah teladan dan dukungan dari orang-orang disekitar untuk menerapkan sebuah perilaku sehat.

Ambil contoh antara saya dan anak saya. Apa guna sarana cuci tangan yang sudah tersedia di rumah jika ia tidak diberi teladan dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya? Atau yang lebih parah anak saya melihat ibunya keburu emosi saat mengajarkannya cuci tangan pakai sabun. Saya sendiri tidak yakin anak saya akan mau menerapkan perilaku cuci tangan pakai sabun hanya dengan mendengar saya menyuruhnya untuk melakukan itu.

Children have never been very good at listening their parent, but they have never failed to imitate them. ~ James Baldwin

Untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada perilaku cuci tangan pakai sabun, tidak hanya berhenti pada usaha menyediakan sarananya. Tidak hanya selesai pada acara penyuluhan atau kampanye sehari. Teladan, dukungan, semangat yang tiada putus dari orang-orang di sekitar anak sangat dibutuhkan untuk menguatkan perilaku sehat ini.

Memang tidak mudah, seperti halnya saat stok sabar saya menipis menghadapi tingkah main air anak saya. Pasti akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bertahun-tahun mungkin. Satu hal yang harus kita ingat, inilah usaha untuk mencegah anak-anak Indonesia dari ancaman penyakit infeksi yang beresiko pada kematian. Inilah usaha membangun dan membentuk generasi masa depan, generasi #brightfuture yang sehat dan kuat.


14194176761910932093
sumber: Facebook Anak Juga Manusia




Referensi: Notoadmodjo, Soekidjo. 2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta. Rineka Cipta.

ps: Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba Ayo Tulis Ceritamu untuk Indonesia Sehat!